Quantcast
Channel: Dharma Archives | Buddhazine
Viewing all 149 articles
Browse latest View live

Belajar Lamrim, Belajar Intisari Dharma Hanya dalam 25 Bait!

$
0
0

Butuh waktu sangat lama untuk bisa memahami ajaran Buddha yang memiliki 84.000 pintu Dharma. Namun ada cara yang ringkas dan mudah untuk mempelajarinya, yaitu melalui Lamrim.

Apa itu Lamrim? Menurut situs Lamrimnesia.org, Lamrim atau Tahapan Jalan Menuju Pencerahan, merupakan sebuah risalah yang berisi ajaran Buddha yang disusun secara sistematis dan disajikan secara terstruktur sehingga mudah dipraktikkan untuk menuntun setiap orang mencapai pencerahan sempurna. Lamrim menyarikan seluruh ajaran Buddha tanpa membeda-bedakan aliran dan mengelompokkannya ke dalam topik-topik urut yang dapat menjadi panduan praktik Dharma dari awal hingga akhir.

Dalam pembukaan Indonesia Lamrim Retreat 2016 di Prasadha Jinarakkhita, Jakarta pada Jumat (23/12), Biksu Bhadraruci menjelaskan, Lamrim bersumber dari kitab Bodhipatapradipam karya Atisha Dipankara Srinjana dari Tibet dan telah melahirkan banyak guru yang berhasil mencapai realisasi agung.

Guru Atisha sendiri menulis kitab tersebut setelah masa studinya di Bumi Sriwijaya kepada Swarnadwipa Dharmakirti sekitar abad 11. Karenanya Biksu Bhadraruci menyebut, Lamrim memiliki hubungan kuat dengan Indonesia sehingga amatlah baik jika kita bisa meneruskan tradisi mengulang Lamrim di penghujung tahun seperti saat ini.

Indonesia Lamrim Retreat 2016 diselenggarakan oleh Kadam Choeling Indonesia (KCI) pimpinan Biksu Bhadraruci tanggal 23 Desember 2016 – 1 Januari 2017. Retret ini diikuti oleh 407 peserta, mayoritas adalah mahasiswa dan profesional muda dari Jakarta dan Bandung.

Retret Lamrim ini sendiri diadakan secara rutin tiap tahun sejak tahun 2001. Biasanya pengajarnya adalah Dagpo Rinpoche. Namun karena kendala kesehatan, pengajar retret tahun ini digantikan oleh Biksu Bhadraruci.

20161025-belajar-lamrim-belajar-intisari-dharma-hanya-dalam-25-bait-2 20161025-belajar-lamrim-belajar-intisari-dharma-hanya-dalam-25-bait-3

“Tradisi ini kita jaga agar cara mengajar dan belajar terjaga,” ujar Biksu Bhadraruci. Menurutnya, perkembangan Buddha Dharma di Indonesia masih tahap awal, masih seperti kecambah sehingga para pengajarnya masih trial and eror seperti dirinya, namun lama-kelamaan akan lahir guru-guru yang benar-benar mencapai realisasi.

“Di dunia ini banyak (Tibetan) Dharma Centre, semua Dharma Centre mengajarkan Lamrim karena paling mudah untuk pemula,” jelas Biksu Bhadraruci.

Ia mengajak seluruh peserta retret untuk menyetel ulang motivasi dalam mengikuti retret. Setelah setahun penuh menghadapi penatnya hidup, peserta diajak memanfaatkan momen retret ini untuk menyegarkan kembali dan mengisi penuh hati masing-masing agar dapat menghadapi setahun ke depan dengan gembira dan senantiasa membawa manfaat bagi orang banyak.

Ada tiga motivasi belajar Lamrim, yaitu: (1) Kehidupan akan datang lebih baik, (2) Bebas dari samsara, dan (3) Merealisasi ke-Buddha-an.

Dalam retret kali ini, kitab Lamrim yang diuraikan adalah Baris-baris Pengalaman gubahan Je Tsongkhapa. Baris-baris Pengalaman merupakan kitab tersingkat dari 10 teks utama Lamrim. Kitab ini berisi perjalanan spiritual Je Tsongkhapa dari awal hingga mencapai kebahagiaan sejati dan menggambarkan intisari Tripitaka hanya dalam 25 bait.

Secara singkat, 25 bait tersebut adalah sebagai berikut: (1) Keagungan sumber Ajaran, yaitu Buddha sebagai pengajar, (2) Keagungan Dharma, (3) Cara mendengar Dharma yang benar, (4) Membimbing murid dalam instruksi yang sesungguhnya, (5) Bertumpu pada guru spiritual, (6) Memanfaatkan kelahiran manusia yang berharga, (7) Tahapan jalan berkapasitas kecil, (8) Mengingat kematian, (9) Merenungkan alam rendah, (10) Berlindung, (11) Menerapkan karma, (12) Tahapan jalan berkapasitas menengah, (13) Merenungkan penderitaan samsara, (14) Merenungkan dukkha dan proses samsara, (15) Jalan keluar dari samsara, (16) Tahapan jalan berkapasitas agung, (17) Merenungkan manfaat Bodhicitta, (18) Berlatih membangkitkan Bodhicitta, (19) Berlatih dana, (20) Berlatih sila, (21) Berlatih ksanti, (22) Berlatih viriya, (23) Berlatih samadhi, (24) Berlatih prajna, (25) Mencapai ke-Buddha-an.

20161025-belajar-lamrim-belajar-intisari-dharma-hanya-dalam-25-bait-4 20161025-belajar-lamrim-belajar-intisari-dharma-hanya-dalam-25-bait-5

Dalam pembukaan retret tersebut dilakukan juga puja Gaden Ngachoe untuk memperingati hari meninggalnya Je Tsongkhapa. Puja dimulai dengan pembacaan doa dan pujian kepada Je Tsongkhapa serta pelantunan kitab Baris-baris Pengalaman. Terakhir, peserta retret menyalakan persembahan pelita untuk mengantarkan doa-doa mereka agar dapat menemukan kebahagiaan bagi diri sendiri dan membagikannya kepada orang banyak seperti teladan Je Tsongkhapa.

Bagi Anda yang berhalangan, retret bisa Anda ikuti melalui live streaming di http://buddhayana.tv. Untuk mendapatkan akses, silahkan hubungi Sapta (08984811450) atau Aprianti (085375242326).

*) BuddhaZine adalah media partner Indonesia Lamrim Retreat 2016


Bagaimana Memanfaatkan Lima Kekuatan untuk Mencapai Kebahagiaan?

$
0
0

Dalam Anguttara Nikaya, Pancaka Nipata, Buddha menjelaskan kepada para bhikkhu tentang lima kekuatan yang dapat menunjang kehidupan sebagai samana. Lima kekuatan inilah yang menjadi jalan untuk mencapai kehidupan spiritual tertinggi seorang bhikkhu.

Lima kekuatan ini adalah keyakinan (saddha), semangat (viriya), perhatian (sati), keteguhan pikiran (samadhi), dan kebijaksanaan (panna). Pancabala ini merupakan kekuatan para bhikkhu untuk mencapai kebahagiaan kehidupan spiritual, lalu bisakah lima kekuatan ini digunakan sebagai jalan mencapai kesuksesan bagi umat perumah tangga?

Bhikkhu Jayamedho mengupasnya dalam Kelas Dhamma “Pancabala: The Ways to Success” di Vihara Dhamma Sundara, Solo, Jawa Tengah pada Sabtu (11/3). Seperti kita tahu, Bhante Jayamedho sebelum menjadi bhikkhu adalah seorang pengusaha sukses.

“Sebelum mengupas lebih jauh tentang pancabala, ada pertanyaan apakah pancabala ini jalan menuju sukses atau jalan menuju bahagia?” tanya Bhante memulai uraiannya.

Menurut Bhante, kalau berbicara tentang sukses ukurannya adalah materi, tetapi kalau berbicara tentang bahagia ukurannya adalah kepuasan batin. “Orang mempunyai rumah mewah di kawasan elit, mobil banyak yang bagus-bagus, mempunyai kartu kredit, ikut dalam klub-klub golf dan lain-lain, ini memang bisa disebut sebagai orang yang sukses. Tetapi apakah ini bisa membuat orang benar-benar bahagia? Belum tentu, senang iya, bangga iya, tapi bahagia belum tentu,” jelas Bhante.

Namun dengan bekal lima kekuatan (pancabala) untuk para bhikkhu dan pancadipati untuk perumahtangga, kebahagiaan batin dapat menunjang kesuksesan. “Harus agak dibedakan antara pancabala (para bhikkhu) untuk melenyapkan dukkha secara menyeluruh dengan pancadipati (perumah tangga) untuk menghilangkan dukkha kecil. Lalu bagaimana caranya agar kebahagiaan membawa kita ke dalam kehidupan sukses?” tanya Bhante kembali.

“Yang pertama, saddha bala/saddha dipati (kekuatan keyakinan). Semua agama mengajarkan harus yakin dulu, harus percaya, tetapi di Buddhis tidak boleh gampang percaya, tetapi harus diteliti, dianalisis kebenarannya. Begitu juga saat kita mau membuka bisnis, harus yakin dengan apa yang akan dilakukan, jangan ada keraguan. Kalau ada keraguan lebih baik jangan dilakukan karena pasti tidak akan berjalan baik.

“Kedua, kekuatan semangat (viriya bala). Mempunyai keinginan untuk membuka usaha juga harus dibarengi dengan semangat yang tinggi. Punya keinginan tetapi tidak diwujudkan, tidak ada artinya. Semua cita-cita harus diwujudkan, harus dimulai dengan langkah demi langkah. Inilah yang dikatakan sebagai viriya. Tetapi yang harus diperhatikan menurut Buddha dalam viriya bala adalah menghindari hal-hal yang buruk. Karena kalau kita melakukan hal buruk, membuat orang lain menderita. Kalau orang lain menderita, maka orang tidak akan suka dengan kita. Kalau orang tidak suka akan menghalangi usaha kita juga.

“Berdaya upaya benar, membuat perencanaan sebaik-baiknya. Usaha kita kalau tidak direncanakan dengan baik, tidak akan bisa berjalan. 50 persen keberhasilan usaha ada di perencanaan. Berhasrat teguh, disertai dengan kekuatan addhitana (tekad yang kuat) untuk melakukan hal-hal yang sudah direncanakan, tidak mengabaikan tugas.

“Ketiga, kekuatan perhatian. Untuk melakukan sesuatu harus diperhatikan dengan benar, mengembangkan perhatian dengan kebijaksanaan. Kalau kita bisa mengembangkan ini, di kerjaan maupun di kantor ketika ada persoalan akan mudah mencari solusi yang baik. Ini adalah kekuatan perhatian.

“Selanjutnya, kekuatan keteguhan pikiran. Keteguhan pikiran ini berhubungan dengan meditasi. Mengembangkan cinta kasih, kasih sayang kepada semua orang, semua makhluk. Kekuatan meditasi untuk mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan yang kemudian juga akan menunjang kebijaksanaan (panna bala). Ini adalah tiga kekuatan yang saling berhubungan dan mempengaruhi.”

Kebijaksanaan ini akan menjadi kontrol bagi pikiran yang mengetahui bahwa semuanya tidak kekal. Ketika usaha sedang tidak baik, bisa berpikir bahwa ini tidak kekal. Harus dievaluasi, dikerjakan lagi dengan semangat.

Apabila bisa memanfaatkan lima kekuatan ini, menurut Bhante, akan dapat menunjang kesuksesan. “Dengan lima kekuatan ini, kehidupan bahagia dan sukses akan kita dapatkan. Tapi ingat, bahagia akan menunjang kita menuju kehidupan sukses,” tutup Bhante.

Pelangi di Dalam Hati

$
0
0

Pelangi adalah jembatan yang menghubungkan langit dengan bumi, itu pesan yang sering terdengar di hutan keheningan. Bagi jiwa-jiwa yang peka dalam rasa mengerti, ada pesan indah yang mau disampaikan langit melalui munculnya pelangi. Keindahannya tidak bisa diwakili oleh lidah mana pun.

Mungkin itu sebabnya, di atap bumi Tibet salah satu nama yang diberikan pada mahluk tercerahkan adalah rainbow body (tubuh yang seindah pelangi). Di saat wafat, jiwa-jiwa indah seperti ini akan dihormati oleh alam dalam bentuk munculnya pelangi di langit, serta gempa kecil di bumi.

Dalam segelintir kisah, bahkan ada Guru suci yang sudah mengalami tubuh yang seindah pelangi di saat tubuh beliau masih segar bugar. Ringkasnya, bahkan lidah Buddha pun akan kurang panjang untuk bisa menjelaskannya.

Kendati demikian, mari menemukan sejumlah bahan renungan yang mau disampaikan langit melalui pelangi. Sejumlah pencari di dunia spiritual sering mengutip pesan seperti ini. Kebencian dan serangan orang-orang mirip dengan cahaya panas matahari. Namun ketulusan Anda untuk memaafkan adalah hujan rintik-rintik yang muncul di sana.

Akibatnya, ada pelangi spiritual yang muncul di sana. Sebagai pedoman dalam melangkah, di setiap tempat dan putaran waktu ada orang yang menyerang dan mencaci. Yang dilakukan jiwa-jiwa yang dalam sederhana, bukannya terbakar oleh hawa panas kebencian orang lain, tapi melukis pelangi indah di sana. Terutama melalui ketulusan untuk selalu memaafkan.

Di Barat pernah lahir wanita bercahaya bernama Maya Angelou, salah satu warisan indah wanita kharismatik ini berbunyi seperti ini: “belajar menjadi pelangi di awannya orang-orang”. Kemarahan orang mirip dengan awan yang menghalangi munculnya cahaya. Tapi ketulusan Anda untuk melihat orang marah sebagai jiwa menderita yang meminta pertolongan adalah pelangi indah yang muncul kemudian.

Dari dua penjelasan ini terlihat terang benderang, rupanya ada pelangi indah di dalam hati. Sebagaimana pelangi di langit yang memerlukan cahaya matahari panas dan sedikit awan, pelangi di dalam hati juga serupa. Ia memerlukan kebencian, kemarahan dan serangan orang-orang.

Serupa petani yang tidak bisa bertani kalau tidak ada tanah, mirip dengan nelayan yang tidak bisa memancing ikan jika tidak ada lautan, pelangi di dalam hati tidak akan muncul indah kalau seseorang tidak diserang dengan penuh kebencian.

Itu sebabnya, di jalan belas kasih (compassion) orang-orang yang mencaci dan melukai disebut sebagai permata langka yang paling berharga. Mengulangi pesan sebelumnya, merekalah yang membantu jiwa-jiwa bercahaya agar bisa berjumpa pelangi di dalam hati.

Di atap bumi Tibet pernah lahir jiwa seindah pelangi bernama Gyalse Ngulchu Thogme (1295-1369). Tatkala musim gagal panen tiba, beliau memberikan semua hal yang dimiliki kepada pengemis. Suatu hari ada pengemis kedinginan yang meminta baju yang beliau kenakan. Itu juga dikasi. Sebagai akibatnya, sebagian orang mengira beliau sudah sakit jiwa karena ke mana-mana tidak mengenakan baju. Di saat beliau wafat, langit penuh pelangi, bumi menghormat dengan gempa kecil.

Penulis: Guruji Gede Prama (belkedamaian.org)

Pesan Waisak 2561 BE/2017 oleh Bhante Dharmavimala

$
0
0

“Pengetahuan dapat dibagikan oleh seseorang pada orang lain, namun kebijaksanaan dan belas kasih hanya dapat ditumbuhkan dalam diri seseorang atas usahanya sendiri. Usaha itu adalah menjalankan hidup dengan penuh kesadaran.”

Kita bersama-sama merayakan Waisak 2561 BE. Ini berarti sudah 2561 tahun guru junjungan kita parinirwana, karena penanggalan buddhis dimulai sejak Buddha Gotama mangkat. Berbeda dengan di negara-negara lain. Kita di Indonesia merayakan Waisak, 11 Mei 2017 karena Indonesia memiliki tradisi menetapkan Waisak ketika bulan benar-benar sempurna.

Pada saat kita melakukan puja bakti dengan penuh kekhusyukan keyakinan kita terhadap Buddha, Dharma, dan Sanggha semakin kukuh. Pikiran kita ditujukan untuk kebaikan, pada saat itu kita juga mempraktikkan perhatian penuh kesadaran yang membuahkan kedamaian.

Hari Waisak merupakan hari yang indah, kita memperingati tiga peristiwa penting yaitu hari kelahiran Beliau sebagai Pangeran Siddharta, hari Beliau sebagai petapa Gotama mencapai pencerahan sempurna, hari Beliau parinirwana.

Tri Suci Waisak

Buddha Gotama adalah Guru Agung kita, beliau telah menunjukkan jalan kepada kita, jalan itu adalah jalan tengah yang akan membebaskan dukkha. Seyogianya kita mengikuti jejak Buddha untuk merealisasi kebahagiaan tertinggi, kebahagiaan sejati. Marilah memaknai Waisak dengan tekad untuk melakukan banyak kebajikan, untuk terus meningkatkan diri kita dalam kebaikan, untuk membersihkan kita dari kotoran-kotoran batin.

“Memahami kebhinnekaan dalam kebersamaan” merupakan tema yang diangkat oleh Sanggha Agung Indonesia, jika kita dengan segera memaknai tema ini maka yang kita ingat adalah kondisi bangsa kita saat ini bahwa kebersamaan bangsa Indonesia akan terancam jika kita kurang memahami kebhinekaan.

“Dengan melihat kebhinnekaan, walaupun adanya perbedaan kita hidup dalam kebersamaan. Kebersamaan terjadi karena kita memiliki kesamaan. Kita sama-sama manusia, kita sama-sama menggunakan udara yang sama, kita menghirup dan menghembuskan napas kita di satu udara. Maka kita disebut satu udara, se-udara, atau saudara.

Selain memiliki kesamaan, kita memiliki kesalingterkaitan satu dengan lainnya. Keterhubungan kita dengan semesta dapat dilihat secara mendalam di satu porsi makanan, di sana ada banyak peran. Para petani, para sopir, montir di bengkel mobil, juru masak, dan seterusnya.

Kita sesungguhnya dengan semua makhluk tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Kita semua ada dalam kebersamaan. Sehingga doa buddhis yang universal adalah, ‘Semoga semua makhluk hidup berbahagia’.

Bersama-sama dengan cinta kasih dan welas asih, non diskriminatif adalah suatu kondisi batin yang seharusnya kita miliki. Namun, tidak cukup hanya berhenti di tataran doa. Jika kita mau dan mampu, kita seyogianya melakukan tindakan nyata bagi kebahagiaan orang-orang di sekitar kita.

Kepedulian Sosial, Hoax, dan Kebijaksanaan

Turut serta dalam kegiatan sosial membuat kita tumbuh dalam belas kasih Buddha. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan ungkapan realita, tentang kenyataan sesungguhnya. Kita itu bhinneka, namun juga sebaliknya tunggal ika. Kita satu sama lain memang memiliki perbedaan, namun memiliki kesamaan, sama-sama manusia yang menginginkan kebahagiaan.

Dengan semangat kebersamaan kita akan melihat perbedaan lebih sebagai hal yang memperkaya daripada sebagai potensi yang mempu mengoyak kebersamaan. Jika kita mampu melihat perbedaan dari kacamata demikian, kita akan senantiasa dalam kebersamaan.

Kebersamaan, dalam agama Buddha kita mengenal wawasan kebersamaan yang disebut Buddhayana atau jalan Buddha. Agama Buddha akan tampak bhinneka manakala berbagai metode dan budaya yang menyertainya. Inti agama Buddha atau agama Buddha inti adalah kebijaksanaan dan belas kasih yang timbul dari perhatian penuh kesadaran.

Dengan mempraktikkan agama Buddha inti, yaitu perhatian penuh kesadaran yang menumbuhkan kebijaksanaan dan belas kasih umat Buddha pasti dapat mewujudkan tanggung jawab sosialnya. Umat Buddha yang mempraktikkan perhatian penuh kesadaran tidak akan membuat berita palsu atau hoax yang akan menghancurkan kebersamaan. Umat Buddha yang memiliki kebijaksanaan tidak akan termakan oleh berita yang tidak jelas kebenarannya. Umat Buddha yang memiliki belas kasih tidak akan ikut-ikutan menyebarkan berita yang penuh kebencian.

Tampaknya dengan kondisi dunia masa kini, agama Buddha inti menjadi semakin relevan. Perhatian penuh kesadaran menjadikan manusia memiliki kewaspadaan dan keterjagaan terhadap dampak negatif dari kemajuan teknologi, termasuk teknologi informasi.

Sungguh sangat disayangkan jika orang-orang yang tadinya penuh kedamaian batinnya menjadi bergolak, mereka tidak menyadari bahwa mereka telah mendapatkan makanan batin yang buruk. Semakin banyak makanan batin yang buruk, jika ia tidak penuh kesadaran dan penuh kewaspadaan maka seseorang yang semula baik akan berubah menjadi orang yang memiliki pikiran yang buruk dan penuh kebencian.

Sebaliknya, jika kita bisa tetap eling dan waspada maka kita bisa menjaga kemurnian pikiran kita dari hari ke hari kita bertumbuh dalam kebaikan. Berbagai hasil kemajuan teknologi digital akan menjadi sarana penyebaran cinta kasih dan kearifan, bukan menjadi sarana penyebaran kebencian dan kedunguan!

Media adalah netral, pikiran orang yang berada dibaliknyalah yang sesungguhnya berperan menentukan apakah dunia ini akan menjadi tanah suci atau menjadi hancur? Agama Buddha inti, dengan praktik penuh kesadarannya menjadi solusi bagi masa depan. Mengapa? Karena akan banyak kecerdasan buatan yang mengambil alih peran manusia, komputer dan robot sebagai contoh.

Menyerahkan kehidupan seluruhnya pada teknologi merupakan tragedi! Sesungguhnya ada hal-hal yang lebih utama yang tidak tergantikan oleh teknologi, yaitu kebijaksanaan, kearifan, dan belas kasih.

Ajahn Brahmali: Untuk Melatih Kesadaran Harus Punya Hati yang Baik

$
0
0

Ajahn Brahmali Indonesia Road Show 2017 yang digelar di enam kota tanggal 20-25 Mei hadir di Temanggung, Jawa Tengah pada Minggu (21/5). Selain Temanggung, kota lain yang juga dikunjungi adalah Denpasar, Solo, Lampung, Medan, dan Cikarang.

Talkshow interaktif yang digelar oleh Ehipassiko Foundation ini digelar di Gedung Pemuda Temanggung dan dihadiri oleh ribuan masyarakat Temanggung dari berbagai latar agama, etnis, dan budaya.

Berbagai seni dan hiburan, mulai dari tarian, paduan suara dari gereja hingga rebana tersaji mengawali acara. Seperti biasa, Handaka Vijjananda sebagai moderator dan Tasfan Santacitta sebagai enterpreter (penerjemah/penafsir) memandu talkshow ini.

Ajahn Brahmali sendiri merasa senang bisa singgah dan berbagi tips kebahagiaan bersama masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun begitu, sebagai seorang bhikkhu Buddha, Ajahn Brahmali berbicara tentang harmoni sesuai dengan Ajaran Buddha. “Sebelumnya saya mohon maaf, karena saya adalah seorang bhikkhu Buddha jadi akan berbicara berdasarkan Ajaran Buddha,” ujarnya.

“Buddha mengatakan, kalau tidak ada harmoni baik dengan pasangan, keluarga dan masyarakat, maka tidak akan ada kebahagiaan di hati kita. Kalau ada keharmonisan, di situlah Anda bisa tenang, bisa santai. Dari situlah baru muncul kebahagiaan. Kalau Anda umat Buddha, Anda bisa praktik meditasi. Tapi untuk meditasi juga penting adanya suka cita dan kebahagiaan. Jadi dari sudut pandang agama Buddha pun, keharmonisan merupakan hal yang sangat penting. Jadi mohon jaga dan praktikkan keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar murid paling senior Ajahn Brahmavamso ini mengawali uraiannya.

Talkshow kali ini mengambil tema besar “Here and Now”. Dalam bahasa Inggris disebut mindfulness dan dalam bahasa Indonesia biasa disebut penyadaran, kesadaram, atau eling dan waspada.

Menurut Ajahn Brahmali, kata mindfulness belakangan menjadi kata yang populer, baik di Amerika, Eropa, maupun Asia. Tetapi sayang, kadang konsep penyadaran digunakan untuk hal-hal yang tidak tepat sesuai dengan ajaran Buddha.

“Tapi kadang-kadang orang selalu berpikir bahwa penyadaran itu sifatnya selalu bagus, tidak peduli sedang dipraktikkannya di mana. Tetapi sebenarnya tidak berlaku seperti itu. Sama halnya kalau kita melakukan segala sesuatu dengan bagus, maka hasilnya akan bagus. Tetapi kalau kita lakukan dengan keliru, maka hasilnya akan buruk. Bagaimana menjadi orang yang eling dengan cara yang benar?

“Kalau Anda buka koran-koran besar, di sana itu hampir selalu ada kata dan artikel tentang penyadaran. Setiap orang sedang membicarakan penyadaran ini. Dan sesungguhnya kata penyadaran ini bersumber langsung dari ajaran Buddha, tetapi tidak ada orang yang menyebutkan ini adalah ajaran Buddha. Mereka hanya menyebutkan bahwa ini adalah penyadaran, ini konsep baru penyadaran.

“Dan kadang-kadang saya berpikir bahwa kita terlalu angkuh di dunia modern ini. Mentang-mentang sekarang teknologi dan ilmu pengetahuan sudah semakin canggih, kita melupakan hal yang paling penting yaitu kebijaksanaan kuno yang ditemukan di agama-agama seperti agama Buddha ini. Oleh karena itu, kita juga harus belajar kebijaksanaan masa lampau yang ditemukan dalam agama kita.

“Penyadaran ini sangat membantu kita. Saya pikir penyadaran ini sifatnya bukan hanya agama, tetapi universal yang berakar dari psikologi atau batin manusia. Dan saya pikir ini sangat bagus kalau penyadaran ini kita bagi (ajarkan) kepada semua orang, karena akan membuat kita menjadi lebih tenang dan damai.

“Di Barat, penyadaran digunakan di perusahaan-perusahaan besar untuk tenaga kerjanya supaya bisa lebih efisien dan produktif. Ini juga menjadi perdebatan, apakah ini bagus atau tidak? Tapi kalau itu membuat perusahaan menjadi untung dan karyawannya bisa lebih bahagia, itu bagus. Memang tidak bagus sekali, tapi cukup bagus,” urai Ajahn.

Ajahn Brahmali memberi contoh cara penggunaan kesadaran yang tidak baik, “Di Barat, ajaran Buddha ini dipadukan dengan unsur latihan militer supaya prajuritnya semakin efisien. Dan inilah bahayanya kalau kita mengambil suatu konsep tetapi kita melupakan akarnya, memasukkan penyadaran dalam militer supaya prajuritnya efisien dalam hal membunuh orang. Dan sebagai umat Buddha, ini adalah cara yang sangat buruk menggunakan penyadaran di dunia. Inilah yang saya maksud kita mengambil konsep, tetapi tidak memahami tujuan besarnya. Jadi malah menggunakannya dalam hal yang salah dan berakibat buruk.”

“Contoh lain,” lanjutnya, “ada seorang yang sangat kaya, dengan rumah besar dengan banyak kamar, mobil mewah, lukisan mahal, perhiasan yang sangat mahal. Dia tinggal sendirian dengan hanya satu pelayan. Pada suatu malam, orang ini akan meninggalkan rumah beberapa jam untuk menonton bioskop dan makan enak.

“Karena rumahnya sangat mahal, dia punya satpam di depan rumahnya. Ketika dia meninggalkan rumah, meminta kepada satpam tersebut untuk waspada menjaga rumahnya. Satpam ini menjawab, ‘Tenang saja Nyonya, saya baru pulang dari retret penyadaran. Saya tahu apa yang harus saya lakukan, saya tahu yang namanya eling dan waspada itu’.”

“Lalu nyonya ini pergi makan makanan enak, nonton film yang bagus. Lalu setelah menikmati, dia pulang. Sampai rumah, ternyata lukisannya sudah tidak ada, brankasnya sudah terbobol, pintunya terbuka. Dia sangat marah karena semua sudah hilang. Lalu bergegas menemui satpamnya, ‘Kamu ini ngapain saja?! Bapak kan sudah janji akan waspada, kenapa barang-barang saya hilang semua?!’

“Lalu satpamnya menjawab, ‘Saya justru sangat waspada, saya perhatikan semuanya. Begitu perampoknya datang, saya perhatikan, perampok datang. Ketika perampok masuk rumah, saya perhatikan perampok membuka pintu. Pada saat perampok buka brankas, saya betul-betul perhatikan, dan begitu perampok mengambil perhiasan, juga saya perhatikan. Saat perampok ambil lukisan juga saya perhatikan. Perampoknya masuk mobil saya perhatikan, oh perampoknya pergi, perampoknya pergi dan kaya. Oh sangat eling dan waspada kan?’ Tetapi eling dan waspada yang sangat keliru.”

20170527 Ajahn Brahmali Untuk Melatih Kesadaran Harus Punya Hati yang Baik 2

Bagaimana penyadaran yang benar dalam Buddhis? Apa itu penyadaran, bagaimana mempraktikkanya, bagaimana mujarabnya penyadaran secara ilmu pengetahuan dan apa hasilnya? Belakangan banyak dibahas dalam konferensi Buddhis internasional. “Tetapi mereka lupa satu hal yang paling penting dalam penyadaran, yaitu penyebab munculnya penyadaran ini sangat sederhana, yaitu hati yang baik. Inilah yang sangat penting,” Ajahn menegaskan.

“Inilah ajaran yang indah, karena tidak memandang agama apa pun, tetapi bisa dipraktikkan oleh siapa saja. Kalau Anda renungi dalam kehidupan Anda, Anda suka orang yang seperti apa sih? Orang yang jahat atau orang yang baik? Jelas semua orang suka dengan orang yang baik. Dan tidak hanya senang dengan orang yang baik, tetapi pasti Anda merasa hati ini begitu enak, damai, ketika hidup kita benar. Jadi mengapa hati yang baik itu memunculkan kesadaran? Dan kalau Anda merenungi dalam hati ini ada sesuatu yang baik, mengucap sesuatu yang baik, berbuat sesuatu yang baik, memikirkan sesuatu yang baik, lalu Anda menindaklanjutinya dalam perbuatan yang amal, perbuatan yang dermawan, bagaimana rasanya dalam hati Anda? Apakah Anda merasa bahagia atau tidak? Saya sendiri setelah melakukan perbuatan baik merasa betul-betul enak. Dan saya rasa Anda semua juga begitu.

“Itulah sebabnya kenapa kebaikan itu penting di dunia, karena membuat Anda bahagia dan membuat orang lain juga bahagia. Dan apabila hati Anda merasa enak akan membuat kita lebih mudah berada di momen kini, seperti yang dikatakan oleh guru saya (Ajahn Brahm), ketika batin ini enak maka momen kini akan terasa menyenangkan. Itu adalah sungguh gagasan yang sangat bagus. Dan kebahagiaan dalam hati Anda bagaikan perekat bagi keelingan dan kewaspadaan supaya tetap nempel di momen kini dan saat ini. Dan ini tidak hanya berlaku bagi umat Buddha saja, tapi semua orang di dunia. Inilah alasannya mengapa sangat buruk menggunakan penyadaran untuk para prajurit militer.

“Jadi, memiliki hati yang baik sangat penting untuk melatih kesadaran, jika Anda bisa mengingat ini akan membuat Anda bahagia. Tetapi karena kesibukan, kadang untuk mengingat satu hal (hati yang baik) ini sangat sulit. Jadi, saya akan mengajarkan bagaimana cara mengingat satu hal ini.

“Gagasan ini akan membantu Anda untuk mengingat dan menjalankan sesuatu yang baik. Dan kita perlu mengingat dalam kehidupan ini sesuatu yang baik, karena kesibukan, kita kadang melupakannya. Itulah sebabnya penting mempunyai sahabat yang baik dan cara menjalani hidup ini dengan baik.

“Dan kalau Anda mendengarkan terus ceramah dari guru spiritual yang baik, Anda akan selalu ingat cara menjadi orang yang baik perlahan demi perlahan. Dan Buddha memberi perumpamaan yang sederhana tentang cara ini.

“Buddha mengatakan seperti puncak gunung. Di puncak gunung ada hujan yang terus turun dan mengalir dari puncak gunung itu. Dan begitu turun, maka air itu akan membentuk aliran sungai yang kecil. Dan seiring airnya banyak, maka membentuk danau kecil. Lama-lama danau kecil ini turun akan mengalir ke danau yang lebih besar. Dan semakin ada hujan, danau ini akan penuh, dan lama-kelamaan akan mengalir ke sungai yang besar. Dan lama-kelamaan sungai besar ini akan penuh dan mengalir ke samudera raya. Dan kalau Anda mau menjadi orang yang lebih baik, lebih senang, lebih meningkatkan spiritual, Anda harus terus dan terus mendengarkan ajaran yang baik ini. Dengan begitu Anda akan menjadi orang yang lebih matang dalam spiritual,” simpul Ajahn.

Sebelum Segalanya Terlambat…

$
0
0

Anda pernah ikut retret? Rentang waktunya sehari? Tiga Hari? Seminggu? Sepuluh hari? Atau bahkan lebih lama? Retret tampaknya bisa menjadi solusi bagi manusia super hectic di era modern ini. Sekadar mengalihkan perhatian dan meletakkan beban-beban yang telah dipikul sekian lama, serasa sangatlah melegakan.

Ada orang yang sakit perut gara-gara makan kebanyakan sambal, lalu dia tak punya pilihan harus menelan obat sakit perut. Tentu saja ia sembuh sementara, namun ketika mata melihat sambal yang enak lagi maka, dia menyantap kembali sambal kemudian mengakibatkan rasa sakit yang persis sama. Sebetulnya bukan sambalnya yang bermasalah, tapi kemampuan resistansi terhadap sambal yang masih kecil, sehingga dia mengulang kesalahan yang sama berulang kali.

Teknik konkret
Stres dan frustasi yang terjadi pada manusia juga demikian. Mereka mencari cara untuk mengatasinya, lewat retret atau sejenisnya. Tentu saja ia bisa meredakan stres dan frustasi dalam taraf tertentu, ia merasa lega sedikit. Namun, ketika kembali lagi ke dunia kampus atau kerja, maka stres datang lagi. Lalu apakah harus berhenti kerja lalu retret selamanya? Itu bukan solusi yang bijak.

Retret seharusnya memberikan teknik-teknik yang konkret untuk merubah gejala-gejala stres dalam kehidupan sehari-hari. Jangan berharap mendapatkan banyak teori dari sebuah retret, karena teori bisa Anda peroleh lewat membaca atau sekadar berselancar di dunia maya atau bertanya kepada mbah google. Retret seperti berenang di kolam, Anda mempelajari jurus-jurus berenang yang lebih baik, atau bahkan bagaimana berselancar jika ada ombak besar. Lalu ketika kembali ke sungai atau laut, Anda bisa lebih mahir dan tidak sering tenggelam.

Teknik meditasi yang diajarkan dalam retret formal hendaknya sederhana dan bisa dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang pulang dari retret maka ia bisa melanjutkan retretnya yang bersifat informal dan individual di rumah, kampus, kantor, wihara, bahkan ke mana pun dia pergi. Setelah sekian lama dia perlu retret formal lagi. Apalah gunanya retret jika teknik meditasinya hanya bisa diterapkan di pusat meditasi saja?


Retret Plum Village di Medan. Foto: Phap Hien

Variasi meditasi
Meditasi berkaitan dengan bagaimana membantu badan jasmani untuk relaks terlebih dahulu, menjalin suatu hubungan yang jernih dengan badan jasmani melalui postur duduk di lantai maupun di kursi. Seseorang akan diberikan tuntunan bagaimana memanfaatkan napas untuk mengurangi pikiran acak yang terus bergerak sehingga membuat pikiran menjadi keruh dan lelah. Otak menjadi tidak maksimal dan pikiran negatif berseliweran.

Meditasi tidak terbatas pada duduk saja, namun melibatkan beberapa aktivitas lainnya. Sebut saja ketika sedang gosok gigi, maka teknik menghitung gosokan bisa diterapkan, menggosok gigi hanya untuk menggosok gigi saja. Berjalan naik turun tangga juga demikian, Anda bisa menerapkan satu langkah satu napas, relakskan badan, senyum kecil di wajah, dampaknya akan membuat hati menjadi lebih lapang, ketegangan di badan dan pikiran bisa berkurang.

Saya sering mengajarkan bagaimana menikmati makanan dengan hening selama 20 menit dalam retret, banyak peserta merasa sangat bermanfaat. Rutinitas makan setiap hari bisa menjadi objek meditasi, menghitung kunyahan minimal 20 kali, menggunakan lidah untuk merasakan asin, manis, pahit, pedas, dan asam. Membangkitkan rasa syukur atas makanan yang sedang disantap merupakan jerih payah dari banyak makhluk. Seseorang boleh menerapkan meditasi makan dengan versi yang lebih sederhana, contoh makan dengan hening selama 10 menit di kantor atau kampus, atau di sela-sela waktu yang memungkinkan, sehingga makan menjadi proses keberlanjutan dari retret.

Pergi untuk kembali
Memang benar retret adalah kondisi kita mengundurkan diri dari hiruk pikuk di luar sana untuk kembali ke hati masing-masing, namun kehidupan manusia tetap harus berjalan, Anda tidak bisa bersembunyi di tempat retret selamanya. Anda perlu membawa praktik-praktik dari retret ke semua aspek kehidupan, sehingga retret dan non retret mulai tiada perbedaan yang terlalu signifikan lagi.

Janganlah mencari-cari pengalaman sebelumnya, karena setiap hari selalu berbeda, siapkan hati dan pikiran untuk menerima momen kekinian yang akan tersingkap satu persatu, sehingga Anda tidak kecewa terhadap masa lalu atau tidak khawatir akan masa depan, sesungguhnya hidup hanya ada di saat ini.

Sering-sering jangkarkan pikiran pada napas di mana pun Anda berada. Sisihkan waktu untuk memperhatikan napas masuk dan napas keluar sepanjang hari, teknik ini bisa menurunkan tensi badan dan mental. Jadikanlah ini sebagai kebiasaan baru.

Jangan tunda sampai esok hari, karena bisa saja terlambat sudah karena kematian mungkin saja datang menjemput duluan. Jangan lewatkan kesempatan-kesempatan yang bisa Anda pergunakan untuk meditasi makan, meditasi duduk, meditasi jalan, atau sekedar merelakskan badan lewat napas masuk dan keluar, pikiran bisa menjadi lebih bening.

Retret dan non retret
Meditasi formal sangatlah penting, menjadikan praktik meditasi sebagai suatu komitmen pribadi, walaupun retret telah usai, justru Anda perlu memperpanjang retret formal agar bisa bersinggungan dengan retret non formal sehari-hari, sehingga tiada perbedaan antara retret dan non retret lagi. Meditasi duduk tidaklah perlu terlalu lama, tampaknya 10 menit cukup asal tekun setiap hari, jika Anda sudah terbiasa mungkin boleh lebih lama hingga 30 menit dan sehari boleh dilakukan beberapa kali.

Anda sering cek medsos kan? Berapa lama? Berjam-jam? Kenapa meditasi napas dan duduk hening 15 menit tidak sanggup Anda lakukan? Ironis bukan? Jadi, janganlah menunggu sampai esok hari, karena siapa tahu kematian datang menjemput lebih awal, ketika itu terjadi? Terlambat sudah!

Sisyphus, Bodhisattwa Teladan Penuh Suka Cita

$
0
0

Mengikuti jejak Albert Camus, Radhule Weininger merenungkan kembali mitos sang penderita sebagai teladan yang penuh suka cita.

Pada masa yang sulit dan tidak terprediksi ini, kita mengalami kekhawatiran, ketakutan, dan kengerian yang semakin menjadi.

Ketika saya merenungkan tentang orang-orang yang mendedikasikan diri untuk kesejahteraan dunia, layanan kesehatan, lingkungan, dan hak-hak imigran, maka saya teringat pada Sisyphus. Pahlawan Yunani ini dikutuk oleh para dewa untuk melaksanakan satu tugas abadi. Setiap hari Sisyphus harus berrjuang mendorong sebongkah batu ke puncak gunung, hanya untuk melihat batu itu kembali menggelinding jatuh. Beberapa orang menilai Sisyphus sebagai seorang penderita klasik, terkutuk untuk terus-menerus mengerjakan tugas yang tidak bermanfaat dan sia-sia.

Seperti Sisyphus, kita curiga bahwa bongkahan batu yang kita dorong ke puncak gunung akan menggelinding ke bawah lagi. Kita memiliki kekhawatiran bahwa tindakan-tindakan yang kita lakukan ternyata sia-sia.

Salah satu penulis termahsyur yang menelaah mitos ini adalah Albert Camus, seorang penulis eksistensialis. Ia mengajukan perspektif baru dan inspirasional untuk memahami Sisyphus. Dalam Mitos Sisyphus, Camus melihat pahlawan absurd itu sebagai seseorang yang menentang para dewa karena mereka menyalahgunakan kekuatan. Hukuman Sisyphus akibat ucapannya adalah bekerja keras mendorong batu ke atas gunung. Menurut interpretasi Camus, Sisyphus mengerti situasi yang ia hadapi, apa yang menyebabkan situasi tersebut terjadi, serta bagaimana nasibnya di masa depan. Menurut Camus, Sisyphus mendorong batunya dengan sikap penuh kesadaran, martabat, bahkan suka cita, memilih untuk hadir dalam tugasnya. Sisyphus menyadari bahwa ia tidak memiliki pilihan selain terus-menerus mendorong batu tersebut ke atas gunung yang tinggi dan terjal, sehingga ia memanfaatkan situasinya untuk mengubah kesedihan menjadi suka cita.

Saya mulai melihat bahwa Sisyphus adalah seorang yang tercerahkan”. Foto Oleh Oliver P

Apa adanya

Saya melihat Sisyphus sebagai seseorang yang hadir dengan dirinya apa adanya; ia menerima keabsurdan. Keabsurdan bagi Camus adalah akibat dari keinginan kita untuk menemukan arti di dunia yang tanpa arti. Sisyphus menyadari bahwa dengan memelihara bagian dari satu kesatuan, maka ia memelihara keseluruhannya. Camus menulis “…setiap atom dari batu itu, setiap serpihan mineral yang terdapat pada gunung gelap itu, dengan sendirinya telah membentuk suatu dunia”. Dalam keterlibatannya dengan dunianya sendiri melalui tindakan penuh kesadaran, belas kasih, dan kehadiran penuh, maka Sisyphus terlibat dengan seluruh dunia.

Pada retret meditasi yang baru saja saya ikuti, saya merasa tertarik untuk merefleksikan batu Sisyphus dan hubungannya dengan batu tersebut. Saya terus-menerus kembali ke pemahaman dasar bahwa: ketika kita merawat dunia pribadi kita dengan perhatian penuh kasih, maka kita juga merawat dunia secara keseluruhan. Saya memikirkan orang-orang yang saya kenal, walaupun mereka menghadapi rintangan-rintangan berat, mereka bekerja sepenuh hati melalui cara-cara sederhana untuk membantu dunia. Teman saya Manny Jesus adalah seorang profesor psikologi yang sudah pensiun. Ia berjuang tanpa lelah untuk memastikan kesejahteraan dan perlindungan pemuda-pemuda Meksiko-Amerika melalui keterlibatannya di dewan pemerintah kota. Sementara Nancy dan tujuh ibu lainnya menulis surat kepada anggota kongres tentang layanan kesehatan, pendidikan dan lingkungan karena mereka mencemaskan nasib generasi muda di masa yang akan datang.

Foto Oleh S. Tipchai

Sudut pandang

Bagaimanakah jadinya jika kita melihat bongkahan batu dengan cara yang baru? Bukan sebagai beban satu Sisyphus yang harus mendorong batu pribadinya ke atas bukit, namun sebagai beban kita bersama berupa bongkahan batu kasar dan berat yaitu kondisi manusia? Bagaimanakah jadinya jika dengan mata terbuka dan penuh penerimaan akan kondisi manusia, kita mampu memutuskan untuk mengangkat bongkahan batu ini demi seluruh umat manusia? Melihat setiap tindakan sekecil apa pun itu sebagai tindakan welas asih dan solidaritas, sebagai suatu pemahaman bahwa setiap orang memiliki tugas mendorong batu berupa kondisi manusia ini, sehingga kita dapat memberikan arti ke dalam kehidupan kita.

Saya mulai melihat Sisyphus sebagai seorang bodhisattwa. Dalam tradisi buddhis, bodhisattwa adalah seorang yang tercerahkan, yang memilih untuk tidak memasuki Nirwana supaya ia bisa tinggal bersama makhluk hidup lainnya, sampai makhuk terakhir yang menderita berhasil diselamatkan. Bodhisattwa memahami bahwa segala hal dalam kehidupan itu saling bergantung dan terus-menenerus timbul, selamanya. Bodhisattwa melakukan tugasnya dengan penuh cinta kasih dan tanpa memperhitungkan hasil jangka pendek. Pemahaman mendalam seorang bodhisattwa bahwa kita semua terhubung, kita semua keluarga, menimbulkan rasa cinta kasih yang mendalam dalam dirinya.

Seorang cendekiawan buddhis dan aktivis sosial Joanna Macy mengatakan, “Jika kita memilih bodhicitta, yaitu keinginan untuk kesejahteraan seluruh makhluk hidup, sebagai batu pondasi kita, maka pondasi inilah yang dapat kita andalkan, terlepas dari apa pun yang terjadi.”

Sisyphus berdasarkan interpretasi Camus dipenuhi dengan suka cita. Dia merasakan kegembiraan ketika menerima nasibnya. Dia memiilh untuk menjalani nasibnya, atas keputusannya sendiri.

Apa yang terjadi ketika Sisyphus berjalan turun dari gunung, menyadari kakinya menyentuh tanah, sebelum ia memilih untuk mendorong bongkahan batunya sekali lagi? Ketika Sisyphus versi saya sedang berjalan ke bawah, mengikuti gravitasi, ia berada dalam ketenteraman. Momen ini memberinya istirahat dan perlindungan untuk bersama dengan apa yang ada, namun dengan keringanan batin dan tujuan.

Ketika kita memberi kepada orang lain dengan penuh cinta kasih, kita mulai melampaui kesepian, pemisahan dan ketakutan. Ketika memikirkan keterlibatan saya dengan dunia masa kini, saya merasakan kebebasan. Saya melihat diri sendiri sedang menjalani sejumlah proyek yang didukung dengan keputusan saya sendiri dan kelemahlembutan yang saya rasakan untuk sesama manusia. (Oleh Radhule Wuininger/Lionsroar.com)

Bhikkhu Sri Pannyavaro: Cinta Kasih Mengajarkan Kita Menerima Perbedaan

$
0
0

Sudah tiga tahun berturut-turut peringatan Waisak di Vihara Dhamma Sundara, Solo, Jawa Tengah masuk calendar event tahunan kota Solo. Dengan begitu, setiap peringatan Waisak, selalu ada rangkaian kegiatan yang melibatkan semua pihak dari lintas agama, seperti lomba fotografi yang melibatkan para fotografer di Solo, dan lain-lain.

Tahun ini, sebagai salah satu rangkaian peringatan Waisak, Vihara Dhamma Sundara juga mengadakan bakti sosial yang diperuntukkan bagi semua masyarakat di sekitar vihara. Namun yang paling menarik, pada peringatan Waisak tahun ini, secara khusus Vihara Dhamma Sundara menyelenggarakan pentas seni dan budaya.

Acara yang digelar pada hari Sabtu (3/6) lalu itu dihadiri oleh para bhikkhu, tokoh lintas agama, dan umat Buddha dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Bhikkhu Sri Pannyavaro yang juga merupakan Kepala Vihara Dhamma Sundara dalam pesan Waisak menyampaikan bagaimana dahsyatnya kekuatan cinta kasih untuk menjaga kedamaian dalam kehidupan yang beragam, sesuai dengan tema besar Waisak tahun ini “Cinta Kasih Penjaga Kebhinnekaan”.

“Ada perubahan dalam kehidupan Pangeran Siddharta yang sangat drastis. Sebagai putra mahkota, Siddharta menolak kemegahan, kemewahan, kenyamanan; meninggalkan semuanya itu dan tidak ada keinginan untuk kembali ke istana. Siddharta menjadi pertapa yang sangat miskin, mungkin sengsara dalam ukuran kita, tinggal di goa-goa di bawah pohon. Kekuatan apa yang mengubah kehidupan sang pangeran sedemikian radikal? Dari kenyamanan dan kenikmatan menjadi pertapa yang sangat sederhana,” ujar Bhante Pannyavaro mengawali uraiannya.

Menurut Bhante, kekuatan yang menggerakkan Siddharta untuk meninggalkan segala kenikmatan dan kemewahan istana adalah kekuatan cinta kasih. Pada saat Siddharta melihat penderitaan di luar istana, timbul dalam pikiran Siddharta, “Mengapa makhluk-makhluk harus menderita? Kesedihan, putus asa, kegagalan, ratap tangis yang hampir dialami setiap orang, apa pun keyakinannya, siapa pun mereka.”

“Cinta kasih dan kasih sayang itulah yang mengubah kehidupan Siddharta. Setelah mencapai pencerahan dan kemudian disebut dengan Sammasambuddha, salah satu landasan ajaran utama dari Beliau adalah cinta kasih dan kasih sayang, metta dalam bahasa Pali. Metta dalam bahasa bahasa Pali itu mempunyai kesamaan arti dari mitta atau mitra dalam bahasa Sansekerta yang artinya adalah sahabat,” jelasnya.

“Yang hadir dalam acara malam ini adalah sahabat kita, yang tidak hadir juga sahabat kita. Umat Buddha adalah sahabat kami, yang bukan umat Buddha adalah sahabat kami. Yang senang dan tidak senang kepada kami, juga sahabat kami. Tetapi yang memusuhi kami juga sahabat kami. Yang kalah adalah sahabat kami, yang menang juga sahabat kami. Yang tampak, manusia, binatang juga sahabat kita, yang tidak tampak juga sahabat kita. Tidak ada dalam pikiran kita, dalam pikiran metta, cinta kasih tidak ada yang menjadi musuh kita.

“Ajaran metta, ajaran cinta kasih, membuat kita untuk menghargai perbedaan. Perbedaan adalah keniscayaan (dhammatta), hukum alam yang tidak bisa kita pungkiri. Tidak ada di dunia ini dua orang yang benar-benar sama. Metta mengajarkan kita untuk menerima perbedaan. Tidak hanya menghargai perbedaan, tetapi juga menerima perbedaan dengan ketulusan.”

Bhante juga menyatakan, salah seorang pujangga Buddhis besar yang hidup 600 tahun yang lalu, Mpu Tantular pernah menulis kotbah Guru Agung Buddha Gotama, Sutasoma Jataka. Mpu Tantular menggubah kembali dalam bahasa yang indah di lontar, kakawin Sutasoma. “Di lontar itulah Mpu Tantular menggoreskan Bhinneka Tunggal Ika. Mpu Tantular tentu tidak akan mengira bahwa kalimat sepotong sederhana yang dituliskan di lontar itu sekarang menjadi sangat berharga sekali,” ujar Bhante.

Mpu Tantular adalah seorang pujangga Buddhis besar. Meskipun begitu Bhante Pannya meminta agar umat Buddha tidak terlalu berbangga hati, ”Karena kebanggaan itu adalah kekotoran batin, akan mengotori batin Anda sendiri. Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi milik bangsa Indonesia.”

“Sebenarnya kalimat lengkap itu adalah Siwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika, Tanhana Dharma Mangrwa. Agama Siwa dan agama Buddha, karena di zaman itu hanya ada dua agama. Kalau di zaman Majapahit ada banyak agama, mungkin Mpu Tantular menyebutkan semua. Memang berbeda (bhinneka) tetapi satu, tanhana dharma mangrwa (karena kebenaran itu tidak pernah bermuka dua). Kemanusiaan itu adalah tunggal.

Di dalam Karaniyametta Sutta, Buddha menjelaskan dengan rinci, seperti apakah sesungguhnya seseorang yang mempunyai cinta kasih. Seseorang yang mampu mengendalikan dirinya dari perilaku yang buruk, dialah yang mempunyai cinta kasih.

“Karena keburukan itu menghancurkan diri sendiri dan orang lain. Kalau seseorang mampu mengendalikan dirinya dari segala perbuatan buruk, dia menghargai hidupnya sendiri dan juga memuliakan orang lain. Karena itu, Ibu, Bapak dan Saudara, kalau Anda ingin mempunyai cinta kasih jagalah diri Anda dari perbuatan-perbuatan buruk, perilaku yang buruk,” ajak Bhante.

“Selain mengendalikan diri, seseorang yang mempunyai cinta kasih adalah seseorang yang mudah memaafkan dengan ketulusan. Siapa pun yang berbuat salah kepada Anda, melukai hati Anda, merendahkan Anda, menghina Anda, maafkanlah dengan ketulusan hati. Memaafkan dengan ketulusan hati itu adalah wujud dari ketulusan hati. Kalau Anda memaafkan orang lain dengan ketulusan, maka orang yang Anda maafkan akan merasa orang itu tidak akan membalas kepada saya. Dan yang lebih penting, kalau kita memaafkan orang lain, kita akan membuang kebencian dalam pikiran kita. Selama Anda tidak bisa memaafkan, Anda tidak bisa membuang kebencian itu di dalam diri Anda, di dalam pikiran Anda. Ke mana pun Anda pergi, mungkin sampai tidur sampai bermimpi kebencian itu akan ada dalam diri Anda.

“Tetapi kalau Anda bisa memaafkan sebesar apa pun kesalahannya dengan ketulusan hati, akan memberi ketenteraman kepada orang lain. Spiritual Anda akan meningkat, karena Anda membersihkan kebencian dari dalam pikiran Anda sendiri.

Mengakhiri uraiannya, Bhante Pannyavaro mengutip ayat Dhammapada. “Kalau ada orang lain memusuhi Anda, membenci Anda, kemudian Anda berpikir harus diberi pelajaran dia, harus dihabisi dia, supaya tidak melakukan lagi; permusuhan tidak akan pernah berakhir dengan dibalas oleh permusuhan. Permusuhan itu tidak akan selesai sekalipun Anda bisa menghabisi dia, dendam akan ada di keluarga dia. Mereka akan menyimpan permusuhan kepada Anda meskipun tidak bisa membalas balik. Oleh karena itu, janganlah membalas permusuhan dengan permusuhan. Permusuhan akan selesai kalau Anda tidak memusuhi, inilah hukum alam yang sangat lama sekali. Permusuhan akan berhenti kalau Anda tidak memusuhi,” pungkasnya.

Mahakapi Jataka, Keteladanan Seorang Pemimpin
Salah satu sajian utama dalam acara Waisak kali ini adalah pentas Sendratari Mahakapi Jataka. Sendratari yang dipentaskan oleh Sanggar Kusuma Dharma Praba Temanggung yang berkolaborasi dengan karawitan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan Dharmaghosa Syailendra ini menceritakan sebuah kisah kebesaran seorang pemimpin. (Baca Sendratari Mahakapi Jataka Memukau Penonton di Solo)

Untuk menyempurnakan paramitaNya (membuat kebajikan), Buddha Gotama dalam kehidupan masa lalunya pernah terlahir menjadi seekor raja kera yang memimpin segerombolan kera.

“Pesannya dari Mahakapi Jataka, meskipun ini adalah salah satu kisah kehidupan Buddha waktu masih menjadi Bodhisattva. Sang Buddha waktu menjadi raja kera menyelamatkan rakyatnya waktu akan ditumpas seorang raja dari Benares, karena memperebutkan pohon mangga yang luar biasa di tepi Sungai Gangga. Pesan ini nampaknya masih sangat relevan sampai sekarang, di mana pemimpin kita, alih-alih mereka ingin menjaga rakyatnya tetapi malah korupsi, menelantarkan rakyatnya,” jelas Wilis Rengganiasih, sutradara sekaligus penggas dan pelatih sanggar.

“Melalui cerita ini, kami mau merevitalisasi ajaran Buddha 2600 tahun lalu itu masih relevan sampai sekarang. Jadi nanti raja kera itu justru merubah keangkaramurkaan raja yang ingin merebut mangga dengan membabarkan Dhamma. Menyadarkan raja ini kenapa seekor kera berkorban diinjak-injak untuk menyelamatkan para kera.”

Meskipun diperankan oleh para penari dari desa (Temanggung) yang bukan penari profesional dalam artian mencari penghasilan dari menari, pentas Mahakapi Jataka dapat menyihir penonton. Pujian pun dilontarkan oleh Bhante Pannyavaro. “Penampilannya sangat bagus. Latar Candi Putih, penonton yang dekat dengan pemain ditambah karawitan mahasiswa ISI, saya rasa membuat para pemain lebih semangat dan tampil memukau,” ujar Bhante.


Apakah Umat Buddha Berdoa? Untuk apa?

$
0
0

“Kita tidak berdoa untuk sesuatu. Kita tidak berdoa untuk seseorang. Lalu, mengapa umat Buddha berdoa?”

Di dunia Barat, gagasan mengenai “doa” lebih banyak diabaikan dalam ajaran Buddha. Lagipula, umat Buddha tidak berdoa kepada sesuatu atau untuk apa pun. Praktik Buddhis bahkan sering terlihat berlawanan dengan doa: praktik buddhis berusaha untuk melepaskan segalanya.

Seperti penjelasan Robin Kornman, pemahaman mengenai doa berbeda-beda dalam setiap tradisi Buddhis. Buddhis Theravada memanjatkan doa, tapi tidak berharap doa tersebut didengar oleh siapa pun. Buddhis Mahayana dan Tantra berdoa kepada Para Buddha dan Bodhisattva. Apakah Buddha dan Bodhisattva secara harafiah benar-benar masih dalam perdebatan. Juga apakah dan siapakah seorang Buddha itu. Jika kita berdoa kepada Buddha atau Bodhisattva, apakah mereka merupakan manusia atau suatu konsep? Seorang insan atau bukan?

Berikut pemikiran-pemikiran untuk menjawab pertanyaan mengapa kita berdoa, menurut tiga pemimpin buddhis:

Berdoa agar Terhubung dengan Welas Asih.

Diambil dari “If It Sounds Too Good to Be True,” oleh Mark Unno

Kita mudah lupa bahwa realisasi yang paling utama adalah welas asih dan rasa kesatuan yang tidak terbatas. Ketika kita menyatukan tangan, itu bukan hanya sepasang tangan yang saling bertemu. Jika kita amati secara mendalam, maka kita seperti bisa merasakan sentuhan lembut guru kita maupun Guru Agung Buddha, tangan beliau dengan lembut mengelus punggung tangan kita, membantu menyatukan telapak tangan kita, mengajarkan rasa welas asih dan kebijaksanaan yang tidak terbatas. Dalam momen itu, maka apakah kita hidup atau mati, memperoleh kesehatan atau tidak, tercerahkan atau tidak, dinomorduakan oleh pemahaman bahwa kekuatan sifat Kebuddhaan yang hadir – bahwa apa pun yang kita butuhkan sudah tersedia di antara telapak tangan kita ketika membungkuk hormat, bahwa kinerja welas asih sudah terjadi, saat ini juga.

Ini bisa kita sebut sebagai doa.

Berdoa untuk Memahami Diri

Dari “The Paradox of Prayer,” oleh Jan Chozen Bays

Banyak guru Buddhis yang memanjatkan doa. Namun dalam agama non theistik, ini memunculkan pertanyaan: kepada siapa mereka berdoa? Dalam praktik keseharian Zen, tampaknya sering kita berdoa kepada diri sendiri – baik untuk diri kita yang memiliki rentang usia terbatas maupun untuk diri kita yang lebih besar dan saling terhubung satu sama lain. Kita tidak berdoa untuk perolehan materi pribadi; namun, kita beroda untuk mengarahkan hati dan benak kita menuju kualitas-kualitas positif seperti welas asih dan kejernihan. Kita menyuarakan aspirasi sehingga kita mampu memperluas welas asih dan kebijaksanaan kepada diri kita sendiri dan orang lain.

Berdoa untuk Menemukan Penggugahan

Dari “An Invitation”, oleh Elizabeth Mattis-Namgyel

Jadi apakah arti dari berdoa tanpa batasan dari kesenangan-kesenangan pribadi? Artinya adalah kita berdoa untuk keterjagaan tanpa batas yang dalam serta tidak didasarkan pada kesenangan ego. Hanya dengan memohon, kita merasakan benak yang penuh ketakjuban dan kerendahan hati. Kita mengizinkan kehidupan menyentuh kita serta merasakan kerinduan untuk berkembang dengan welas asih dan cinta kasih. (Sam Littlefair/lionsroar.com)

10 Pesan 10 Inspirasi dari Tribute to Buddha’s Legacy 2017

$
0
0

Pertama-tama yang harus dituliskan adalah kata “SALUT” untuk kerja keras dari anak-anak muda nan energik dari keluarga besar Buddhist Reborn Vihara Theravada Buddha Sasana Kelapa Gading, Jakarta Utara. Bukan hanya sekadar sukacita dalam kegemilangan cahaya Buddha di keindahan peringatan Trisuci Waisak, namun lebih dari itu, sebuah paket lengkap antara ritual, inspirasi dan ditutup dengan gegap gempita dari talenta-talenta seni teman-teman muda.

Pada Sabtu (27/05) lalu, Buddhist Reborn menyelenggarakan acara tahunan bernama “Tribute to Buddha’s Legacy: Stepping Ahead in Dhamma 2017”. Acara yang diselenggarakan di Beacon Academy, Kelapa Gading ini mengundang 10 pembicara terkenal yang dihadiri oleh lebih dari 500 anak muda Buddhis. Sepuluh pembicara tersebut adalah Yasa Paramita Singgih (CEO Men’s Republic), Arya Vandana (pendiri Buddhist Reborn), Irvyn Wongso (CEO Nuansa Musik), Corneles Wowor (mantan Direktur Urusan Agama Buddha Depag RI), Guido Schwarze (Direktur Plan Search), Alex Tan (Executive Coach dan EQ Specialist), Bhikkhu Atthadhiro, Herman Kwok (CEO Beritagar), Bhikkhu Atthapiyo, dan Ong Chye Chye (Direktur Citibank Singapura).

TBL kali ini mengusung konsep yang berbeda dengan adanya sesi indoor dan outdoor. Seminar bertempat di auditorium, sedangkan Vesakh Garden Market yang diikuti oleh 20 tenant bazaar, dan Live Concert digelar di halaman Beacon Academy yang diisi oleh band-band Buddhis yang saat ini cukup populer, seperti Sadhu Band dan True Direction, serta penyanyi-penyanyi Buddhis seperti Odelia Sabrina, Harris Kristanto, serta dimeriahkan oleh Buddhist Reborn Dance Crew.

Dibuka dengan inspirasi dari pengusaha muda yang sukses mengharumkan Indonesia di kancah internasional, Yasa Singgih. Ia pagi itu langsung menggebrak dengan pesan bahwa untuk bergerak, usahakan sejak sedini mungkin tanamkan konsep: “Bila tak mampu berlari, tetaplah berjalan”. Intinya, yang penting tetap bersedia bergerak dan sekaligus bersedia banyak belajar dari siapa pun, di mana kuncinya adalah kerendahan hati supaya mampu menampung semua ilmu dan juga siap apabila segala sesuatunya kurang berjalan sesuai harapan karena ketidakpastian hidup. Berikut fakta bahwa ‘melepas’ adalah salah satu kunci kesuksesan, entah itu berdana ilmu, tenaga, materi hingga spiritual, karena rezeki juga kebahagiaan justru mengalir lebih deras dari proses melepas dan berbagi ini. Pantang menyerah, rendah hati, melepas dan berbagi, serta jangan lupakan berbakti, adalah kunci utama dari apa yang disampaikan Yasa sebagai pembuka rangkaian inspirasi pada pagi nan cerah itu.

Perjalanan berlanjut pada Arya Vandana, salah satu figur utama terbentuknya Buddhist Reborn yang juga dengan simpel dan sekaligus keren, membagikan pengalaman dan perjalanan hidupnya selama ini bersentuhan dengan praktik dan kegiatan meditasi. Setelah dimotivasi dengan bagaimana seharusnya memperjuangkan hidup, maka Arya menyeimbangkan dengan mengingatkan kembali keseimbangan kehidupan untuk selalu kembali ke Jalan Tengah. Arya langsung menunjukkan dengan beragam praktik dan varian serta tips-tips tidak hanya bermanfaat dan berguna, namun juga sekaligus sangat mudah dipraktikkan, bahkan bagi seorang pemula maupun awam sekalipun untuk mencapai titik tenang. Karena bagaimanapun, perjuangan pasti selalu membutuhkan titik teduh dan bukan justru membuat senar malah jadi putus saat harus kecewa dan akan terlena dalam buaian kesombongan saat berjaya sehingga kurang waspada akan ketidakpastian hidup. Meditasi adalah kunci utama dari sebuah keseimbangan hidup yang berlaku baik saat roda sedang di atas maupun roda sedang di bawah.

Setelah memperoleh inspirasi dari manfaat meditasi bagi kehidupan, maka berikutnya Irvyn Wongso, seorang pengusaha muda sukses yang sekaligus salah satu figur yang saat ini mengemuka karena sukses membawa musik yang bernuansa Dhamma dari Indonesia hingga ke kancah internasional, menguraikan bagaimana seharusnya hidup yang seimbang. Bila sebelumnya seolah disampaikan secara terpisah pada sesi sebelumnya, maka pada sesi ini digambarkan secara utuh bagaimana sukses dalam duniawi mampu berjalan seiring dan harmoni dengan keindahan pelatihan kehidupan spiritual. Dibawakan dengan impresif melalui gabungan multimedia, musik dan juga ditutup dengan penampilan lagu ciptaannya sendiri I am Home, Irvyn Wongso sukses membawa pendengar kepada pengertian bahwa tidak ada dualisme dalam kegiatan bisnis maupun spiritual. Karena jika kegiatan bisnis tanpa pegangan spiritual, meski sukses sekalipun pasti tidak bermanfaat baik untuk orang lain terutama tentu saja diri sendiri, apalagi berpikir untuk memperoleh kebahagiaan dari situ. Tanpa daya juang yang menjadi salah satu indikator penting untuk mencapai kesuksesan dalam kegiatan bisnis, maka kehidupan spiritual juga pasti tidak akan pernah bertumbuh apalagi berkembang.

Perjalanan indah selanjutnya dipandu oleh salah satu Dhammaduta senior tanah air, Corneles Wowor. Ia begitu energik, meski di tengah keterbatasan tubuh jasmani yang sedang menjalani proses perjuangan dari tindakan medis yang cukup serius, namun sama sekali tidak terlihat di atas panggung. Ia sukses membuka mata hati sekaligus pikiran kita semua, bahwa tidak akan pernah ada kesempatan yang sungguh-sungguh “bersih” saat kita melaksanakan praktik kebajikan yang setulus apa pun dan juga sehati-hati apa pun. Hakekatnya adalah, Corneles Wowor mengingatkan, bahwa pasti selalu muncul “area abu-abu” dalam sebuah praktik Dhamma yang meski sudah dilaksanakan dengan pertimbangan yang sematang bahkan sejernih apa pun. Area abu-abu yang mana merupakan tanda bahwa hidup pasti takkan pernah sempurna, namun masing-masing dari diri kita masih memiliki kesempatan untuk mencapai kesempurnaan diri, yaitu pelepasan sempurna. Yang sayangnya tetap akan memiliki konsekuensi bagi berbuahnya karma pribadi itu suatu saat, termasuk bahkan untuk seorang Buddha yang sudah sempurna sekalipun.

Intinya, jangan tunggu ada kesempatan baik terlebih dahulu baru melakukan kebaikan (karena kesempatan yang tidak memiliki area abu-abu sama sekali itu takkan pernah kita dapatkan), karena waktu tak bisa menunggu sementara maut bisa menjemput kapan saja dan tidak harus menunggu tua. Jangan sampai menyesal saat harus menjalani proses kematian tidak memiliki bekal sama sekali di kehidupan selanjutnya, karena sibuk menunggu kesempatan “sempurna” dalam menanam kebajikan.

Energi seakan tak pernah habis saat pintu selanjutnya diisi oleh dua entrepreneur luar biasa, Guido Schwarze dan Alex Tan. Alex Tan yang berasal dari Malaysia sukses mengharu biru audiens dengan kisahnya yang sangat inspiratif yang meski disampaikan dengan sangat jenaka, namun faktanya kita memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi kepadanya. Usianya mungkin terkondisi tidak bisa terlalu panjang karena sakit kanker yang dideritanya kebetulan belum menemukan pengobatan yang memadai setidaknya untuk kondisi sekarang. Semangat dan motivasinya untuk menjalani hidup yang berharga sekaligus bermanfaat dengan gagah meski maut sudah menantinya, telah sukses membuat suasana begitu moving hingga membuat sebagian besar audiens tak tahan untuk tidak berderai air mata.

Terlebih saat momen ia menyampaikan bahwa ia tidak berani menjanjikan apa pun pada putrinya yang masih sangat kecil, karena kuatir tak bisa ia penuhi karena faktor kesehatannya yang sangat kurang mendukung, namun bersedia berjuang keras untuk bisa hadir pada pernikahan putrinya kelak. Setidaknya ia masih boleh berharap ada penemuan baru dalam dunia kedokteran yang bisa membantu penyembuhan penyakitnya. Baginya, berfokus pada harapan meski sekecil apa pun jauh lebih bermanfaat daripada berfokus pada prosentase kegagalan yang lebih besar sehingga kita memilih untuk berhenti dan menyerah. Seperti halnya Corneles Wowor pada sesi sebelumnya, Alex Tan mengingatkan pentingnya mengisi setiap detik kehidupan dengan tabungan spiritual, karena maut yang tak pernah tahu kapan datangnya. Menjadi cahaya sudah jelas jauh lebih berharga daripada sekadar menunggu cahaya.

Sementara Guido Schwarze mengetuk nurani dan kesadaran kita akan hakekat bahwa selalu menolong orang lain sama dengan menolong diri sendiri. Kepemimpinan, baik secara aspek duniawi maupun aspek spiritual adalah selalu tentang dua hal penting, yaitu contoh nyata yang selalu lebih bermanfaat daripada ribuan nasehat dan semangat membantu orang lain untuk sukses bersama.

Guido memberikan begitu banyak ilustrasi kisah nyata yang terjadi pada sekelilingnya betapa banyak keuntungan dan juga berkat sekaligus kebahagiaan dari mendorong kesuksesan orang lain. Jangan pernah takut orang yang kita tolong kemudian di atas kita sehingga kita seakan “kalah”, sebaliknya dengan menolong orang lain, justru kita kadang malah “dibantu angkat” oleh mereka yang kita bantu. Tidak perlu takut juga bila ternyata yang kita bantu justru merugikan, karena tidak ada yang pernah rugi dalam melakukan kebajikan, karena hukum alam universal yang tidak akan pernah menyimpang bahwa apa pun karma yang dilakukan pasti akan selalu kembali kepada pemilik/pembuatnya.

Menyalakan lilin bagi lilin orang lain tidak membuat cahaya kita berkurang, melainkan justru menambah terang lingkungan tersebut. Sementara bila kita hanya ingin sibuk untuk sukses sendiri, maka kita pasti akan kesepian di garis finish. Sementara bila berprinsip bahwa sukses itu adalah milik bersama, maka kita pasti akan berkelimpahan sahabat di ujung cerita. Demikianlah sesi “cahaya” dari dua pengusaha yang value kegiatan bisnisnya kebetulan sudah sama-sama level internasional.

 

Kemudian langkah hati kita berlanjut pada Bhante Attadhiro, seorang bhikkhu muda yang cerdas dan giat menempuh pendidikan dengan kualitas yang istimewa. Ia bersanding bersama Herman Kwok, seorang entreprenuer di bidang industri digital. Bhante mengingatkan kita semua bahwa kesadaran dan kewaspadaan adalah kunci utama dari segala aspek dalam kita menjalani kehidupan yang fana/sementara ini. Bahkan untuk ranah kebajikan sekalipun. Bila tidak disertai kesadaran dan juga kewaspadaan, justru akan membawa kita menuju jurang kehancuran yang kita gali sendiri melalui kesombongan dan keangkuhan yang muncul bukan dari luar diri kita melainkan murni dari dalam kita sendiri.

Saat kita lengah juga sangat berbahaya, karena sifat kehidupan yang tak pernah pasti membuat kita bisa terjebak dalam kegelapan hidup. Bila tak mampu waspada bahwa kesulitan seberat dan seburuk apa pun pasti akan berlalu, sebab banyak orang baik bisa berubah jadi buruk saat ia tak mampu lagi menanggung beban kehidupan akibat dari ketidakmampuan menjaga kesadaran dan kewaspadaannya. Orang yang tak mampu menjaga kesadaran dan kewaspadaan sesungguhnya sudah mati, meski ia masih bernafas sekalipun, demikian Bhante Atthadhiro menutup sesinya.

Sementara Herman Kwok mengingatkan manfaat komunikasi bukan hanya sebagai sarana bantu yang sangat efektif dalam membantu untuk menjangkau lebih banyak orang dalam menjalani kehidupan yang lebih baik melalui metode siar Dhamma. Lebih dari itu, banyak kehidupan yang begitu terpengaruh oleh kemampuan komunikasi yang baik, sebab banyak orang baik hidupnya sulit karena kekurangbaikan dalam berkomunikasi. Setiap orang pasti mampu berbicara selama tidak mengalami keterbatasan fisik di bidang itu, namun belum tentu semua orang mampu berkomunikasi dengan baik. Komunikasi yang baik adalah saat terjadi keselarasan antara ucapan, hati, pikiran dan tindakan nyata. Menjadi sesuatu standar yang mutlak yang kalau bisa wajib dicapai oleh kita, karena pasti akan sangat kurang nyaman saat menyampaikan kebajikan namun jalan kehidupan kita di keseharian malah justru bertolak belakang dengan apa yang disampaikan. Ketidakseimbangan semacam itu pasti tak kan pernah menemui kebahagiaan, baik bagi yang mendengarkan apalagi bagi yang menyampaikan. Bajik saja belum cukup, bila tak diimbangi dengan kemampuan komunikasi yang seimbang dengan hati baiknya itu.

Tanpa terasa keindahan seluruh rangkaian 10 pesan dan 10 inspirasi hari itu harus berakhir jua, yang pada kesempatan luar biasa itu ditutup dengan sangat-sangat indah oleh Bhante Atthapiyo dari Flores dan Ong Chye Chye dari Singapura. Perjalanan spiritual seorang Bhante Atthapiyo yang besar dan bertumbuh dalam keluarga dan juga lingkungan yang sama sekali berbeda dengan jalan spiritual yang sekarang dipilihnya memiliki banyak dinamika. Disampaikan dengan luar biasa sekaligus penuh nuansa jenaka, yang bukan hanya meledakkan tawa seisi ruangan namun sekaligus mengobrak-abrik pola pikir kita selama ini yang cenderung melekat pada label (religiusitas) dan bukan pada manfaat (spiritualitas). Inti dari perjalanan spiritualitas Bhante mungkin bisa dirangkum dalam esensi utama pesannya tentang “Pewaris Kebenaran vs Penembus Kebenaran”.

Pada kesempatan itu Bhante menyampaikan bahwa kita wajib berlatih untuk menjadi Penembus Kebenaran dan bukan Pewaris Kebenaran. Karena Penembus Kebenaran berfokus pada kebenaran itu sendiri, sehingga tak perlu merasa terganggu lagi saat ada yang mengusik labelnya, karena ia lebih melihat kebenarannya dan bukan apa labelnya. Sementara Penembus Kebenaran sendiri memang sudah tidak memperdulikan lagi apa labelnya, karena ia lebih sibuk menggunakan kebenaran sekaligus memperoleh manfaatnya dan bukan melekat pada labelnya. Sementara Pewaris Kebenaran yang hanya sibuk berfokus pada label, ia akan marah saat labelnya diusik, karena ia memang tak memperoleh manfaat apa pun dari kebenaran.

Pewaris Kebenaran diumpamakan seseorang yang memiliki mobil namun tak pernah menggunakannya dan hanya sibuk memamerkannya, sementara Penembus Kebenanaran lebih memilih untuk sibuk mempergunakan dengan tanpa memperdulikan orang lain melihat atau tidak apa kendaraan yang dipakainya tersebut. Bhante juga mengingatkan bahwa ciri khas Pewaris Kebenaran adalah meski berpengetahuan luas dan mendalam sekalipun tentang kebenaran, biasanya akan begitu keras memperjuangkan pemikirannya itu tanpa memiliki pemahaman bahwa setiap orang memiliki prosesnya sendiri, pengalaman hidupnya masing-masing, dan kebijaksanaan yang juga berbeda-beda. Sementara Penembus Kebenaran sudah mampu memahami semua proses yang harus dijalani itu sehingga mampu untuk bersikap lebih toleran alih-alih radikal juga fanatik sebagaimana para Pewaris Kebenaran. Bhante menutup dengan kenyataan bahwa seorang Penembus Kebenaran pastilah akan selalu berasal dari Pewaris Kebenaran terlebih dahulu, sementara para Pewaris Kebenaran belum tentu mampu “naik kelas” menjadi seorang Penembus Kebenaran.

Ong Chye Chye yang kebetulan merupakan salah satu eksekutif muda dengan posisi yang cukup tinggi dari sebuah bank berskala dunia dan sekaligus penggiat siar Dhamma via media digital, menyampaikan dengan lugas dan juga indah mengenai manfaat dan bantuan dunia maya dalam perkembangan metode siar Dhamma saat ini. Namun sebanyak apa pun nilai positif yang telah dicapai dan juga sangat membantu pertumbuhan dan perkembangan kegiatan penyebaran Dhamma saat ini, tetap wajib diwaspadai dengan adanya penyebaran hoax, pesan-pesan yang bukan berasal dari Buddha langsung namun diklaim sebagai pesan Sang Guru Agung. Berikut juga ujaran-ujaran kebencian yang kadang menggunakan medium Dhamma yang justru bukan hanya malah merusak keindahan Dhamma itu sendiri namun sekaligus mengganggu kedamaian dan menodai keberagaman, sementara kita hidup dalam dunia yang penuh perbedaan, mulai dari suku, ras, budaya, bangsa hingga ragam, jalan spiritual. Nikmati kemudahan akses Dhamma saat ini, namun jangan lupa untuk tetap waspada, karena tak semuanya yang ada adalah kebenaran. Menguji dan memeriksa dengan hati-hati dan juga bijaksana merupakan sebuah keharusan. Pada akhirnya kembali lagi pada hakekat utama bahwa Dhamma hadir bukan untuk kalangan atau golongan tertentu, apalagi sampai bersifat eksklusif, melainkan sebagai jalan pembebasan dari lingkaran samsara unuk kebahagiaan semua makhluk.

Maha anumodana untuk kesempatan dan juga sekaligus kepercayaan panitia bagi saya untuk menjadi host/moderator dari keseluruhan rangkaian 10 jam luar biasa yang takkan pernah terlupakan bersama 10 narasumber istimewa berskala dan berprestasi dunia. Sebuah kado Waisak yang lebih dari indah buat saya pribadi memperoleh berkah 10 pesan dan 10 inspirasi penuh pencerahan sekaligus dalam satu momen. Semoga rangkuman singkat dari seluruh 10 cahaya hari itu tidak berkurang keindahannya. Dengan penuh segala kerendahan hati, sekali lagi saya menyampaikan terima kasih banyak untuk segalanya. Semoga bermanfaat, dan semoga semua makhluk selalu berbahagia. Namaste.

*) Wedyanto Hanggoro, CHt., CPS® adalah moderator tunggal sesi seminar 10 pembicara Tribute to Buddha’s Legacy 2017. Seorang professional public speaker dan edukator/konseling. Tinggal di Tangerang

Melonggarkan Cengkeraman Pikiran

$
0
0

Dicengkeram secara sangat menakutkan oleh pikiran, itulah ciri utama jiwa-jiwa berbahaya. Merasa benar, kemudian berani menghancurkan kehidupan banyak orang. Tidak melihat sedikit pun kebenaran di agama orang lain, kemudian tempat suci orang dibakar. Yakin tidak bersalah, kemudian membubarkan pernikahan. Itulah sekelumit kisah perjalanan jiwa-jiwa berbahaya sejak dahulu kala.

Dicengkeram secara sangat menakutkan oleh pikiran, itulah ciri utama jiwa-jiwa berbahaya. Merasa benar, kemudian berani menghancurkan kehidupan banyak orang. Tidak melihat sedikit pun kebenaran di agama orang lain, kemudian tempat suci orang dibakar. Yakin tidak bersalah, kemudian membubarkan pernikahan. Itulah sekelumit kisah perjalanan jiwa-jiwa berbahaya sejak dahulu kala.

Siapa saja yang diberkahi untuk bisa tumbuh secara hening dan bening, melihat jernihnya kolam jiwa di dalam, di sana ia bisa melihat. Kekerasan, kemarahan, kekacauan bukan godaan setan. Melainkan hasil cengkeraman pikiran yang demikian menggenggam. Persisnya, pikiran yang belum disentuh oleh cahaya indah meditasi.

Sebelum kekacauan yang sama mengunjungi diri Anda, ada baiknya merenungkan tiga bahan renungan berikut, terutama agar pikiran tidak lagi mengacaukan. Bahan renungan pertama, setiap kali berjumpa orang kurangi merasa diri lebih penting dibandingkan dengan orang lain. Entah karena sebab kekayaan, status sosial, keterkenalan, pendidikan, begitu berjumpa orang jauhkan segala bentuk pikiran yang merasa diri lebih tinggi.

Seperti roda yang berputar, orang yang lebih tinggi di hari ini akan lebih rendah di hari lain. Bunga indah di suatu waktu akan jadi sampah di waktu lain. Wanita bermuka cantik di usia muda akan keriput di usia tua. Suka tidak suka, melakukan upacara atau tidak melakukan upacara, demikianlah hukum yang berlaku di alam ini.

Bahan renungan kedua, seakurat apa pun informasi yang Anda miliki, seyakin apa pun logika yang ada di kepala, selalu ingatkan diri kalau logika dan kepala bukan segala-galanya. Meminjam warisan tua para filsuf, kebenaran mirip kaca cermin yang pecah berantakan. Dan pecahan-pecahannya berserakan di mana-mana. Tidak saja ada di rumah Anda dan agama Anda, tapi juga berserakan di rumah dan agama orang lain.

Sejujurnya, tatkala berjumpa realita, manusia mirip dengan tiga orang buta yang memegang tiga bagian berbeda dari tubuh gajah yang sama. Yang memegang belalai gajah mengira, kalau gajah sama dengan ular. Yang menyentuh kaki gajah menduga, kalau yang ia pegang adalah batang pohon. Orang buta yang bersender di tubuh gajah, meyakini kalau itu tembok.

Sementara pikiran yang sangat mencengkeram selalu bertanya “siapa yang benar diantara ketiganya?”, pikiran yang sudah bersih-jernih, hening-bening pertanyaannya berbunyi seperti ini: “makhluk apa yang di satu bagian mirip ular, di bagian lain menyerupai batang pohon, sedangkan di pojokan lain berbentuk seperti tembok?”. Ini persisnya yang disebut berfikir dalam sintesa. Bukan diperkuda oleh analisa.

Bahan renungan ketiga, di Barat ada ungkapan tua yang berbunyi seperti ini: “belajar mengenakan sepatu orang lain”. Maksudnya, kapan saja di dalam terasa sakit – entah tersinggung, entah merasa direndahkan – sisakan sebagian rasa untuk merasakan rasa sakit orang lain. Ringkasnya, saat Anda disakiti orang, sesungguhnya yang menyakiti juga sedang digoda rasa sakit.

Di jalan compassion (belas kasih), murid-murid dibimbing untuk selalu melihat jejaring penderitaan di balik orang-orang yang melukai. Ia bisa masa kecil yang penuh luka, orang tua yang tidak dewasa, atau sekolah yang bermasalah. Intinya, orang melukai tidak berdiri sendiri. Ia lebih dekat dengan “korban” kekerasan dibandingkan pelaku kekerasan.

Paduan antara tiga bahan renungan ini, pelan perlahan bisa membuat cengkeraman pikiran semakin melonggar. Tandanya, bibir tidak lagi spontan berbicara begitu melihat orang berbeda. Perasaan tidak lagi mudah terbakar oleh kata-kata kasar. Dan pikiran, ia mulai bisa melihat ruang hening-bening diantara dua gagasan. Berbekalkan taman di dalam seperti ini, secara alami seseorang bertumbuh menjadi jiwa yang indah.

Penulis: Guruji Gede Prama

Sahabat Sejati

$
0
0

Sahabat sejati adalah keluarga sangat dekat yang dipilih oleh hati kita sendiri, demikian salah satu warisan tua sekaligus sakral dari atap bumi Tibet. Sementara keluarga biologi (orang tua, kakak, adik, paman, tante) diperoleh tanpa bisa memilih, tapi sahabat sejati secara alami dipilih melalui proses seleksi waktu yang panjang oleh sang hati.

Lebih-lebih di tengah naik pesatnya angka perceraian di mana-mana, semakin sempitnya makna keluarga menjadi suami, istri dan anak-anak saja, semakin sedikitnya manusia yang punya simpati dan empati pada orang lain, maka kehadiran sahabat sejati semakin diperlukan. Tanpa kehadiran sahabat sejati di usia tua khususnya, kehidupan akan mirip taman kering dan gersang.

Oleh karena itulah, penting sekali seawal mungkin membuka mata kepekaan untuk melihat orang-orang sekitar yang berpotensi untuk diajak bertumbuh menjadi sahabat sejati. Saat-saat emas yang sering membantu dalam hal ini adalah putaran waktu tatkala kehidupan meluncur ke jurang berbahaya yang penuh kekurangan dan keterbatasan.

Untuk lebih konkritnya, perhatikan segelintir orang dekat yang masih datang membawa senyuman tatkala keadaan keuangan sudah sangat pas-pasan, pujian orang sudah mulai menghilang, lebih-lebih jika ditambah dengan badan yang mulai sakit-sakitan. Dengan asumsi seseorang memiliki benih hati yang indah (sedikit menyakiti, banyak menyayangi), akan selalu tersisa sekurang-kurangnya seorang manusia yang masih datang membawa senyuman tatkala jiwa sudah masuk jurang.

Manusia jenis inilah yang sebaiknya dirawat seindah mungkin. Setidak-tidaknya dirawat dengan tatapan mata yang penuh rasa terimakasih, telinga yang bahagia dengan cara mendengarkan, bibir yang selalu berhiaskan senyuman, hati yang selalu memancarkan kasih sayang.

Setiap kali berjumpa sahabat-sahabat jenis ini, selalu tanyakan ke dalam diri: “Bagaimana caranya agar saya bisa membuat orang ini tersenyum?”. Tidak saja canda dan tawa yang bisa membuat orang lain tersenyum, tapi bahasa tubuh yang hangat dan bersahabat, sikap yang indah bisa membuat orang lain tersenyum bahkan secara jauh lebih dalam.

Attention is the active partner of action, itu bunyi pesan tua di dunia spiritual. Maknanya, fokus perhatian Anda juga ikut mencipta. Lebih-lebih jika fokus perhatian Anda searah dengan tindakan, daya ciptanya akan sangat mengagumkan. Untuk itu, bersamaan dengan mengembangkan sikap yang indah, selalu lihat sisi-sisi indah dari sahabat Anda.

Sebagai bahan renungan, seperti taman yang berpotensi menghasilkan bunga indah, setiap orang memiliki sisi-sisi indah. Tugasnya kemudian, temukan sisi-sisi indah ini. Ia bisa masa lalu yang sangat mereka banggakan. Bisa juga orang tua yang sangat ia cintai. Atau kemandiriannya yang sudah tumbuh sejak umur yang sangat muda. Setiap kali berdialog, ingatkan sahabat Anda akan benih-benih indah ini.

Kapan saja ada waktu bersama, usahakan secara bergantian untuk saling menyirami dengan cara saling mendengarkan. Pada waktu mereka melakukan kesalahan, memaafkan adalah parasut spiritual yang sangat menyelamatkan. Di saat sahabat Anda mengalami kesialan dan kemalangan, ia menjadi waktu-waktu emas untuk saling merawat dan saling menyirami.

Di puncak semuanya, hanya ia yang sudah menemukan sahabat sejati di dalam yang mungkin menemukan sahabat sejati di luar. Untuk itu, bersamaan dengan mengembangkan sahabat sejati di luar, ingat juga bersahabat dengan hidup Anda apa adanya. Setiap kali pergi ke cermin, tatap mata orang di cermin dengan penuh penerimaan. Dekap setiap luka jiwa yang ada di sana, kemudian lafalkan mantra ini: “Saya menerimamu apa adanya”. Jika diberkahi, pada waktunya Anda akan menemukan sahabat sejati. Keluarga sangat dekat baik dalam duka maupun suka.

Penulis: Guruji Gede Prama.

Senyuman Cahaya

$
0
0

“Kesepian di tengah keramaian”, itu pengakuan banyak sekali sahabat di zaman ini. Jangankan mereka yang dibenci banyak orang, bahkan yang dipuji banyak orang pun merasakan perasaan yang sama. Badannya tumbuh di tengah keramaian, namun hatinya kesepian. Tangannya berkarya di tempat terang yang penuh dengan cahaya, namun jiwanya di dalam gelap lengkap dengan perasaan resah, gelisah, rasa bersalah, marah-marah.

Sebagian diantara mereka bertumbuh dari gelap ke gelap, sebagian lagi mencari cahaya salah satunya di kelas-kelas meditasi. Sejumlah sahabat yang datang ke kelas meditasi bercerita, kegelapan itu sudah menumpuk di dalam menjadi penyakit ini dan itu, kegelapan itu sudah membuat mereka mengalami banyak hal yang berbahaya seperti nyaris bunuh diri.

Setelah didengarkan secara mendalam, para sahabat yang di dalamnya gelap ternyata terlalu banyak menendang dan melawan. Semua hal yang tidak sesuai dengan keinginan dan pikiran, dari pasangan hidup yang tidak sesuai dengan harapan sampai anak yang nakal, semuanya ditendang dan mau dibuang. Anehnya, semakin banyak mereka mencoba membuang kegelapan, semakin gelap jiwa di dalam.

Itu sebabnya, di kelas-kelas meditasi sering dibagikan cerita kalau meditasi adalah sebentuk perjumpaan dengan cahaya yang ada di dalam diri. Serupa cahaya listrik yang merupakan hasil sintesis negatif-positif, melalui pendekatan “terima, mengalir, senyum”, seseorang juga sedang melakukan sintesis negatif-positif di dalam.

Agar perjalanan melakukan sintesis di dalam lebih mudah, belajar meyakini kalau semua hal yang dianggap salah-benar, buruk-baik oleh pikiran adalah tarian Tuhan yang sama. Semua jenis perasaan seperti duka-suka, sedih-senang adalah senyuman Buddha yang sama. Di aliran Nyingma Tantra, ini disebut Dzogchen (kesempurnaan yang agung). Orang Kagyu di Tantra menyebutnya maha mudra (segel yang agung).

Sebagian sahabat yang pikirannya terlalu kuat dengan salah-benarnya mengalami kesulitan besar dalam hal ini. Sebagian teman yang lama tenggelam dalam dogma agama juga serupa. Namun tidak ada pilihan lain selain mendekap setiap aliran energi di dalam. Awalnya ada yang melawan di dalam. Namun lama-lama perlawanan ini melemah sejalan dengan ketekunan untuk selalu menerima, mengalir dan tersenyum.

Begitu perlawanan di dalam mulai melemah, mulai ada tanda-tanda cahaya di dalam. Mimpi buruk, memori buruk, rasa bersalah, perasaan resah dan gelisah mulai menurun kuantitas dan kualitasnya. Pada saat yang sama, muncul rasa terimakasih dan rasa syukur yang mendalam. Ini keadaan jiwa yang mulai belajar termurnikan (purified).

Lebih indah lagi kalau kondisi jiwa yang sudah mulai dimurnikan ini kemudian disempurnakan (perfected) dengan tugas-tugas pelayanan dalam keseharian. Ia bisa merawat pasangan hidup, memperlakukan anak-anak sebagai anak-anak, melayani orang tua, atau membimbing masyarakat banyak agar berjumpa cahaya di dalam diri.

Perjalanan spiritual ini jauh dari mudah. Di beberapa titik bahkan bisa sangat berbahaya, termasuk bisa kehilangan nyawa. Namun, ada penjaga yang tersedia yakni compassion (belas kasih). Mengulangi pesan salah satu buku suci, jika hati Anda penuh belas kasih maka seisi alam akan berdoa untuk keselamatan dan kesuksesan Anda.

Siapa saja yang diberkahi bisa melewati halangan-halangan berat ini, tidak saja kegelapan di dalam menghilang, namun kehidupan juga berubah wajah menjadi senyuman cahaya. Sebagaimana bunga yang sifat alaminya indah, jiwa-jiwa yang sudah menemukan kehidupan sebagai senyuman cahaya, secara alami akan menemukan kebahagiaan dan kedamaian mendalam di jalan pelayanan.

Penulis: Guruji Gede Prama

The post Senyuman Cahaya appeared first on BuddhaZine.

Anggota Sangha Juga Manusia

$
0
0

Kita memiliki banyak benih dalam diri. Ada benih baik dan kurang baik. Benih ini tersiram dari waktu ke waktu dalam interaksi sehari-hari dengan pihak lain dan lingkungan. Benih ini juga tersirami ketika panca indra mengonsumsi, dari medsos, youtube, drama, FB, IG, bahkan obrolan. Berlatih meditasi berarti menyadari bahwa ada bahan konsumsi yang kurang sehat, maka itu perlu dihindari.

Ada orang yang ingin mendapatkan kusala karma dengan berbuat kebajikan secara umum atau di lingkungan wihara; seperti ikut dalam kepengurusan, kegiatan sosial, belajar Dharma, dan juga meditasi. Kegiatan-kegiatan ini pada umumnya menyirami benih-benih kebaikan.

Kita percaya bahwa wihara merupakan ladang subur untuk menanam kebajikan, betul! Banyak kegiatan-kegiatan positif yang menyirami benih-benih kebajikan lalu membawa kita pada pemahaman baru atas berbagai aspek kehidupan individu dan sosial.

Sikap realistis perlu diketengahkan, bahwa suasana wihara juga tidak selalu bagus adanya. Ketika suasana menjadi sulit maka, ada kalanya menyirami benih-benih negatif seseorang. Permasalahan muncul tentu saja perlu kita tangani lewat Dharma, melalui komunikasi agar mendatangkan pengertian antarsesama.


Foto Fernando C

Makna wihara

Wihara yang sejatinya adalah rumah para samana, namun di Indonesia sering kita temukan wihara yang tiada anggota sanghanya, karena memang tidak banyak yang berani mengambil jalur ini. Relawan yang datang ke wihara ingin memberikan kontribusi, secara materi, energi, maupun waktu, dan berbekal keyakinan untuk menanam kebajikan serta memperluas koneksi, dan saling belajar terutama tentang Dharma.

Permasalahan muncul tentu saja perlu kita tangani lewat Dharma, melalui komunikasi agar mendatangkan pengertian antarsesama

Di wihara yang ada anggota sanghanya, umat bisa berinteraksi dan bahkan belajar banyak dari mereka, kadang para bhante juga bisa belajar banyak dari umat, sehingga terjadi saling menghormati dan saling belajar secara alami. Walaupun secara umum umat selalu bilang belajar Dharma dari para bhante atau biku bikuni, lalu meletakkan mereka di tempat yang sangat tinggi, mulia, dan seolah-olah ‘sempurna’.

Mohon renungkan kembali lagi tentang itu, banyak biku dan bikuni yang membangkitkan hati mulia untuk melayani, ingin berlatih Dharma dengan konsisten. Mereka berusaha terus, namun kadang belum mencapai standar yang Anda inginkan, jadi mohon bukakan pintu hati untuk memaafkan mereka jika ada sesuatu tindakan atau ucapan yang masih kurang terampil.

Ini bukanlah pembelaan, tapi ini justru membantu para umat, karena tidak baik bagi umat yang merasa kesal sama bhante tertentu lalu menyebarkan isunya ke sana-sini, walaupun itu dianggap “benar”, terlebih lagi pada era medsos yang mudah viral. Ketahuilah bahwa “Ajining diri gumantong ono ing lathi” yang artinya harga diri seseorang dapat dilihat dari caranya berbicara.


Foto Athisan

Anggota sangha

Jika ada bhante yang berucap kurang terampil, maka mohon dengarkan dengan sabar, siapa tahu beliau lagi ada tekanan batin atau sedang menderita. Jika Anda punya hubungan baik dengannya, maka boleh memberikan beberapa patah kata yang sopan, “Bhante mohon jangan marah, jika saya melakukan kesalahan, mohon berikanlah petunjuk, saya bersedia memperbaikinya.” Atau kalau situasi menjadi sulit, maka boleh saja minta izin dengan sopan lalu pamit pergi. Sesuai dengan nasihat Buddha, kalau ada orang yang datang membawa “sampah” kepadamu, maka kamu berhak untuk tidak menerimanya. Cara terakhir, Anda boleh memberikan laporan kepada gurunya, biarkanlah gurunya yang menyelesaikannya, tapi mohon jangan laporan atau curhat di grup WA apalagi di medsos.

Ini merupakan salah satu cara membantu ajaran Buddha berkembang. Para bhante juga bukanlah manusia sempurna, mereka akan terus berlatih dan belajar lagi. Memang ada saja komplain dari banyak umat tentang biku A, biku B dan seterusya, tapi kembalikanlah kepada institusi sangha, agar sangha bisa menanganinya, mohon berbaik hati jangan disebar-sebar infonya sehingga menjadi viral. Percayalah guru dan institusi sangha masih menjalankan tugasnya dengan baik, dan mereka akan pelan-pelan melakukan pendisiplinan.

Kesalahan kecil kita perbaiki, dan kesalahan besar kita hindari, jangan sampai karena insiden kecil lalu mencari afiliasi untuk menjatuhkan nama baik bhante tertentu, sungguh sedih kalau ini terjadi. Hendaknya kita sama-sama membangun komunitas yang harmonis, bukan saling menjatuhkan, kita butuh saling mendukung, bukan saling menuduh. Pergunakanlah ucapan kasih, bukan kata-kata kasar, pergunakanlah akal sehat bukan percaya membabi buta. Jika belum bisa menggunakan kata-kata kasih dan bersahabat, lebih baik diam saja, tunggu lain kesempatan untuk menyampaikannya, karena barisan sakit hati sudah terlalu panjang.

Tak ada gading yang tak retak, kalau sudah retak bukan berarti kita buang, tapi kita bersama-sama cari solusinya, bukan mengambil palu lalu menghancurkannya. Marilah bergandengan tangan untuk membangun komunitas yang hidup harmonis lewat berbicara penuh kasih dan mendengar dengan sabar, bukan sekedar hanya menulis status indah di FB saja, lebih penting untuk menerapkannya secara nyata, siramilah benih kebaikan untuk diri sendiri dan para umat yang datang ke wihara, sehingga wihara bisa sebagai ladang yang subur dan gembur untuk tumbuhnya kebaikan.

The post Anggota Sangha Juga Manusia appeared first on BuddhaZine.

Bisakah Hewan Mendengarkan Dhamma?

$
0
0

“… sedangkan bagi para hewan, mereka dapat dengan cara mendengarkan Dhamma ajaran Buddha, memeroleh manfaat untuk (terlahir kembali yang) mendukung bagi perkembangan spiritual, dan dengan manfaat tersebut, di dalam tumimbal lahir kedua, atau ketiga, mereka dapat mengikuti jalan dan mendapatkan hasil daripadanya.” Buddhaghosa (Vis 203).

Seringkah Anda ke wihara? Kalau iya, tentu Anda pernah menjumpai beberapa hewan yang berkeliaran di sekitar wihara, entah itu anjing, kucing, burung, rusa dan lain sebagainya. Hewan-hewan ini biasanya bersikap lebih jinak dan bersahabat. Lantas pernahkah terlintas dalam benak kita dan bertanya, “Apakah hewan-hewan ini dapat mendengar dan memahami Dhamma ajaran Buddha? Apakah mereka menerima manfaat dari mendengar Dhamma?”

Pertanyaan itulah yang diteliti oleh James Stewart dari Universitas Tasmania yang dituangkannya ke dalam sebuah artikel jurnal berjudul Dharma Dogs: Can Animals Understand The Dharma? Textual and Ethnographics Considerations. Di dalam paparannya, James mengemukakan bahwa ide penelitiannya berasal dari sebuah kejadian di Wihara Tissamahārāma yang terletak di Distrik Hambantota di Selatan Sri Lanka.

Pada saat itu dia menjumpai seekor anjing yang sering berkeliaran di area wihara. Anjing itu kemudian diusir oleh seorang pembantu wihara dengan menggunakan sebuah tongkat panjang. Melihat peristiwa itu, James pun berusaha mencari jawaban dengan meneliti posisi para hewan di dalam ajaran Buddha. Penelitian dilakukan dengan studi literatur dan studi etnografi – sebuah pendekatan ilmiah yang berusaha menjelaskan manusia dan kebudayaannya.

Naskah-naskah buddhis

Sebagaimana yang pernah kita baca dalam naskah-naskah buddhis, hewan memainkan peranan cukup penting dalam kebudayaan dan literatur buddhis. Beberapa bagian dari Kitab Pāli menyebutkan keberadaan hewan-hewan yang menghargai Buddha dan Dhamma. Beberapa hewan bahkan merupakan hewan ajaib, seperti ular naga maupun kinara-kinari.

Di dalam Jātaka, hewan-hewan ini digambarkan sebagai makhluk-makhluk cerdas dan berakal budi yang berusaha melakukan banyak kebaikan agar dapat terlahir di alam yang lebih baik. Lantas apakah hewan-hewan dapat mengembangkan kualitas spiritual mereka dengan mendengarkan Dhamma? Dapatkah mereka mencapai Pencerahan?

Pertanyaan terkait apakah para hewan yang tinggal dan berkeliaran di sekitar wihara maupun tempat buddhis lainnya dapat memahami Dhamma dan mengembangkan kualitas spiritual mereka mungkin berasal dari sebuah pandangan bahwa dengan merasakan energi Dhamma secara terus-menerus akan dapat memurnikan hati/pikiran (citta) mereka yang berada di dekatnya. Wihara adalah tempat berdiamnya para bhikkhu dan tempat dilakukannya banyak perbuatan bajik seperti pembacaan sutta-paritta, ceramah Dhamma, pelaksanaan Vinaya, dan lain sebagainya.

Kitab Pāli menyebutkan manfaat dari mendengarkan Dhamma ajaran Buddha, bahwa mendengarkan adalah sebuah kondisi untuk memahami ajaran Buddha. Mendengarkan Dhamma dapat dilakukan secara aktif maupun pasif. Di sini ditekankan perbedaan antara “mendengarkan” (suṇāti) Dhamma dengan “memahami” (vijānati) Dhamma.

Sebuah permohonan dari Brahma Sahampati kepada Buddha sebagai berikut, “Terdapat makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka, yang akan pergi menjauh karena mereka tidak mendengarkan Dhamma. Sebagian dari mereka akan mampu memahami Dhamma” (Sutta Ayacana, SN 6.1 232).


Foto Ist

Mendengarkan Dhamma

Dari ungkapan di atas muncul skenario bahwa terdapat makhluk-makhluk yang kurang beruntung, yang meskipun mereka memiliki kemampuan untuk mendengarkan Dhamma, mereka tidak memiliki kesempatan untuk mendengarkannya. Dengan demikian kemampuan dan kesempatan untuk mendengarkan Dhamma merupakan kondisi mutlak agar seseorang dapat memahami Dhamma. Inilah yang dimaksud dengan mendengarkan secara aktif.

Sedangkan yang dimaksud dengan mendengarkan secara pasif adalah mereka yang memeroleh kesempatan untuk mendengarkan Dhamma tetapi tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memahaminya. Dikatakan bahwa mereka yang mendengarkan “dengan saksama” akan mendapatkan buah Dhamma yang lebih besar dibandingkan mereka yang “tidak ingin mendengarkan” Dhamma (AN 7.68 1082).

Sebuah wacana di dalam Vinaya mengisahkan cerita di mana Buddha mengeluarkan seorang bhikkhu dari Sangha karena ternyata bhikkhu tersebut adalah jelmaan seekor naga. Naga itu sangat berniat untuk lepas dari kehidupan sengsaranya sebagai kaum hewan dan dengan kemampuannya dia menjelma menjadi seorang manusia dan bergabung sebagai anggota Sangha.

Buddha yang mengetahui hal itu mengusirnya dan berkata, “… Kamu adalah ular yang tidak dapat berkembang di dalam Dhamma dan Disiplin ini” (Vin-MV 1 111). Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa hewan mungkin berniat untuk praktik di Jalan mulia ini tetapi tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk itu.

Tetapi mereka dapat meningkatkan kesempatan mereka dengan cara menjalankan Dhamma sebagaimana disampaikan oleh Buddha: “… Engkau, ular, pergilah, dan jalankan hari Uposatha, tepat pada hari ke-14, 15, dan 8 dari paruh bulan. Dengan demikian kamu akan segera terbebas dari kelahiran sebagai seekor ular dan kembali menjadi manusia”.

Pendekatan etnografis James dilakukan dengan mewawancarai 17 bhikkhu yang berasal dari beberapa wihara di Colombo dan Distrik Kegalle. Hasil dari analisis etnografis dan studi literatur Pāli dan Sinhala menyimpulkan bahwa bahkan hewan pun dapat memeroleh manfaat tidak langsung dari Dhamma.

Dengan berada di lingkungan wihara dan merasakan energi Dhamma, para hewan ini – yang meskipun tidak dapat memahami Dhamma (dan dengan demikian tidak mungkin mencapai Pencerahan), akan memeroleh kesempatan terlahir kembali ke alam yang lebih baik dengan mendengarkan Dhamma secara pasif. Dengan kelahiran yang lebih baik inilah yang akan dapat menunjang bagi perkembangan spiritual mereka di masa mendatang.

 

The post Bisakah Hewan Mendengarkan Dhamma? appeared first on BuddhaZine.


Agar Berdana di Bulan Kathina Menjadi Lebih Keren

$
0
0

Memberi dana adalah kepedulian yang butuh kerelaan, bukan karena terpaksa akibat tekanan lingkungan.

Sebentar lagi, selama satu bulan dari tanggal 6 Oktober sampai dengan 3 November 2017, umat Buddha Indonesia kembali akan merayakan Hari Kathina. Hari Kathina yang semula merupakan hari persembahan jubah kepada Sangha, kini telah menjadi hari berdana kepada Sangha.

Mengapa demikian? Pertama, karena anggota Sangha di Indonesia tidak sebanyak di negara-negara Buddhis, jadi tentunya kebutuhan jubah menjadi tidak banyak. Kedua, karena antusiasme umat Buddha berdana kepada Sangha dapat disalurkan ke kebutuhan Sangha lainnya di zaman modern ini.

Berdana adalah benar jika yang dipersembahkan itu bermanfaat bagi penerima. Tetapi masih banyak umat Buddha yang karena keserakahan mereka akan pahala dari berdana jubah, yaitu bahwa mereka tidak akan kekurangan sandang-tetap memilih untuk berdana jubah. Bahkan mereka kemudian sampai memerlukan hadir lagi ke tempat lain yang mengadakan perayaan Kathina, semata-mata hanya untuk mengejar kesempatan berdana jubah.

Adanya keserakahan akan pahala, dan bukannya semangat untuk melepas dan berbagi kepemilikan, telah membuka peluang pengusaha bisnis garmen untuk memproduksi jubah secara besar-besaran. Penjualan jubah pun, bahkan secara online, semakin marak. Untuk meningkatkan pemasukan, paket jubah pun ditawarkan dengan gencar oleh panitia Hari Kathina. Lebih ironis, untuk menunjang itu, perayaan Kathina kini bukan hanya diadakan di vihara tempat bhikkhu berdiam, tetapi juga di gedung yang biaya sewanya tidak sedikit.

Dengan mengingat kembali ajaran bahwa berdana seharusnya yang bermanfaat bagi penerima, dalam hal ini bermanfaat bagi Sangha atau vihara tempat Sangha berdiam, jika kita masih ingin berdana jubah, lebih keren jika kita kembali ke masa lalu yaitu mempersembahkan kain putih sebagai bahan jubah.

Jika ingin mempersembahkan paket, lebih keren jika membuat sendiri paket kita yang unik. Mulai dari memilih, membeli, menyusun, dan membungkus, kita lakukan sendiri dengan hati yang peduli. Memang tidak segampang membeli paket yang sudah jadi. Tetapi dengan secara sengaja menyediakan waktu untuk itu, proses berdana kita menjadi lebih keren. Kita benar-benar tulus dan bahagia saat menyiapkan dana kita.

Lebih keren lagi, jika sebelum menyiapkan persembahan untuk Sangha, kita mencari tahu dulu apa saja yang masih dibutuhkan vihara. Bisa jadi yang masih dibutuhkan untuk setahun ke depan malah sabun cuci, cairan pembersih lantai, kain lap, keset, bahkan lampu LED dan kantong plastik daur ulang untuk sampah.

Akhirnya, selamat menyambut Hari Kathina dengan lebih keren!

 

The post Agar Berdana di Bulan Kathina Menjadi Lebih Keren appeared first on BuddhaZine.

Lima Kualitas Hidup Manusia

$
0
0

Orang bodoh kalah dengan orang pintar. Orang pintar kalah dengan orang licik. Orang licik kalah dengan orang jahat. Yang tidak terkalahkan adalah…orang-orang beruntung.

Keberuntungan adalah buah dari kebajikan dana, sila dan Samadhi.

Terdapat lima kualitas hidup sebagai umat awam, yaitu seksual, intelektual, material, sosial, dan spiritual.  Salah satu pencapaian spiritual manusia yang tinggi adalah dapat ikut senang saat melihat orang lain senang. Demikian kurang lebih ringkasan yang dapat dipetik dari pembabaran Dhamma oleh Bhikkhu Dhammasubho pada Sabtu (9/9).

Wejangan Dhamma bhikkhu budayawan yang dikenal dengan sapaan akrab “Mpu Subho” itu, antusias diikuti ratusan umat Buddha dan sahabat lintas agama di Hotel Tosan, kawasan Solo Baru. Dhamma Talk Show  dengan pembicara tunggal Mpu Subho ini, bertema: “Mengatasi Soal dengan Seni Berpikir Dhamma” (Ngupoyo Dharmo Tombo Negoro).

Acara diselenggarakan oleh Forviska (Forum Vihara Surakarta), di dukung oleh LPLAG (Lembaga Perdamaian Lintas Agama dan Golongan), serta IKMAB UNS (Ikatan Mahasiswa Buddhis Universitas Negeri Surakarta). Mini Sendratari “Ken Dedes” oleh Teater Cerah STIAB Smaratungga Boyolali pimpinan Paksi Rukmawati, S.Sn, memeriahkan pembukaan acara tersebut.

Dhamma Talk  Show dengan ketua panitia Tjahyono Sugiarto, dihadiri pula beberapa tokoh sahabat lintas agama dan budaya. Tampak hadir di antara tamu undangan, Ketua MUI Surakarta, KH Al Munawar, Ketua PC NU Surakarta, Kyai Ahmad Saakdilah, Ketua PC NU Sukoharjo, Kyai Sofwan Faizal, Pendeta Paulus mewakili agama Kristen, Ibu Purwanti mewakili Khong Hu Cu, dan Pinandita Bagyo Hadi dari Hindu. Tampak pula Bhikkhu Cattamano, Biksu Duta Arya, Mas Seno, seniman dari Padepokan Gedhong Putih – putra sesepuh Buddhis dari Pijiharjo, Wonogiri.

Serta tamu undangan dari berbagai kota di Jawa Tengah. Sebagai penutup acara, dilakukan hening cipta untuk tragedi kemanusiaan yang dialami saudara-saudara di Rohingya. Sesudahnya, Ketua Panita menyerahkan tali asih dana kemanusiaan untuk korban di Rohingnya melalui LAZIZ NU yang diterima H. Sofwan Faizal.

Pada penghujung acara, Bhikkhu Dhammasubho dengan khidmat melantunkan puja,

…Alam raya ini seperti ayah ibu. Ayah ibu itu seperti alam raya. Memberikan yang terbaik. Melindungi anak-anaknya memancarkan pikiran kasih sayangnya tanpa batas ke atas, ke bawah, ke samping, dan sekeliling serta berpesan;

Jaga baik-baik kekayaan alam, gunakan dengan hati-hati warisan harta bumi. Jangan menipu. Jangan menghina siapa saja. Jangan karena marah dan benci mengharap orang lain celaka. Karena itu semua menjadi sebab-sebab bencana.

Sabbabuddha. Sabbadhamma. Sabbasangha nubhavena. Sadha sotti bhavantu te…

 

The post Lima Kualitas Hidup Manusia appeared first on .

Sudah Baca Tipitaka Belum?

$
0
0

Kalau belum mungkin memang inilah masalah yang banyak kita jumpai di kalangan penganut agama Buddha. Tidak perlu bertanya kepada teman atau saudara kita. Mari kita bertanya dan jujur pada diri kita sendiri. Sudah baca Tipitaka belum? Tak jarang kita jumpai orang-orang yang bahkan tidak tahu sejarah dan isi dari Kitab Tipitaka.

Mungkin sebagian dari kita akan menjawab bahwa kita sudah pernah baca ‘bagian’ dari Tipitaka. Yang paling umum adalah buku Paritta dan Dhammapada yang sering kita jumpai di wihara-wihara. Lantas apakah pengetahuan kita mengenai warisan Guru kita hanya sebatas itu saja?

Mungkin sudah saatnya bagi kita memiliki sebuah tekad untuk ‘membiasakan diri’ mengenal dan membaca Tipitaka. ‘Mengenal’ di sini artinya bahwa kita mulai terbuka untuk mencari tahu dan menyelami agama Buddha−teladan dan guru kita. Sedangkan ‘membaca’ di sini tidak sekadar membaca, tetapi juga memahami dan mempraktikkan apa yang ada di dalam Tipitaka. Yakinlah bahwa kita akan menemukan sebuah dunia baru yang berbeda, sebuah pemahaman intuitif yang mungkin saja akan mengubah pandangan dan hidup kita selamanya.

Tipitaka merupakan sebuah karya masterpiece yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya selama berabad-abad lamanya. Meskipun berasal dari zaman Sebelum Masehi, Tipitaka telah terbukti keandalannya sebagai sebuah karya yang memberikan teladan dan panduan hidup bagi banyak orang−baik dulu maupun sekarang.

Tipitaka telah melintas batas kerajaan, budaya, dan peradaban, tetapi keandalannya membuatnya tetap bertahan tidak tergerus oleh perubahan-perubahan. Memang ada banyak usaha yang telah dilakukan oleh beberapa kelompok orang (utamanya dari dalam Sangha sendiri) yang berusaha mengubah panduan ini, terutama terkait peraturan-peraturan dalam vinaya yang dianggap ‘memberatkan’ atau ‘kuno’ sehingga tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Sanghayana

Tetapi semua usaha-usaha itu dimentahkan dalam persamuhan atau sanghayana yang diadakan dengan tujuan mulia untuk melestarikan tiap kata dalam agama Buddha. Sanghayana pertama dilaksanakan tak lama setelah Buddha meninggal dunia. Persamuhan ini dipimpin oleh Maha Kassapa dan dibutuhkan waktu hingga tujuh bulan lamanya untuk menyelesaikannya.

Agama Buddha dihafalkan ulang oleh 500 sesepuh yang semuanya telah menjadi Arahat. Ajaran yang telah dikumpulkan dan dikelompokkan inilah yang membentuk apa yang kita kenal saat ini dengan Kitab Pali Tipitaka (versi tertulis dari ajaran Buddha).

Tipitaka sendiri berarti tiga keranjang yang mencerminkan tiga pembagian/koleksi utama dari ajaran Buddha yaitu Koleksi Peraturan (Vinayapitaka), Koleksi Khotbah (Suttantapitaka), dan Koleksi Ajaran Akademis (Abhidhammapitaka). Masing-masing koleksi ini terbagi lagi ke dalam sub bagian. Tiga koleksi ini saling berkaitan satu sama lain, tidak dapat dipisahkan, dan harus dipahami secara utuh. Dua koleksi terakhir bergabung menjadi kelompok Dhamma sehingga ajaran Buddha seringpula disebut Dhamma-Vinaya.

Selain memuat tiga koleksi ajaran ini, terdapat pula bagian-bagian ulasan yang kadang disatukan menjadi satu kesatuan di dalam Kitab Tipitaka. Bagian ulasan ini memberikan penjelasan dan uraian lebih lanjut terkait ajaran yang cukup rumit untuk dipahami. Terlepas dari itu, Tipitaka tidak hanya sekadar menjadi sebuah pedoman hidup bagi umat Buddha, tetapi juga memuat beragam peristiwa yang memberikan petunjuk penting bagi para ahli sejarah.

Demikian besar dan mulianya karya masterpiece ini sehingga Tipitaka menjadi kitab suci terbesar di dunia. Ini wajar dan logis karena kitab ini memuat khotbah dan agama Buddha selama 45 tahun lamanya. Waktu yang sangat lama untuk membabarkan ajaran dan juga untuk mempelajarinya. Sudah saatnya bagi kita untuk sadar bahwa dibutuhkan waktu dan usaha besar untuk belajar agama Buddha melalui kitab ini. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi?

Untuk memulainya, silakan dibaca file buku berikut ini. Sebuah buku karya YM. PA Payutto yang mengulas secara singkat tentang sejarah, peranan, dan pembagian Kitab Tipitaka. Dengan ini diharapkan kita dapat membendung arus yang menggerus agama Buddha. Semoga Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya, dapat bertahan lebih lama dan memberikan manfaat bagi banyak makhluk di dunia. Sadhu, sadhu, sadhu…

* Upasaka Sasanasena Seng Hansen, sedang menempuh studi di Australia program Doktoral di bidang Construction project management.

 

The post Sudah Baca Tipitaka Belum? appeared first on .

Memaafkan, Menjahit Hati yang Lara

$
0
0

Hubungan kita dengan orang lain merupakan perpaduan antara komunikasi tubuh, ucapan, dan pikiran. Dalam hidup, tentu saja kita pernah melukai orang lain, baik secara sengaja maupun tak sengaja. Hati yang terluka terasa pedih dan pahit. Saat kita terluka, kita tidak menghendaki dan sangat takut untuk terluka lagi.

Lazimnya, kita enggan lekas merawat luka hati, sebaliknya kita membiarkannya ternganga. Kita melihat diri kita sebagai korban dari keadaan. Orang yang menyakiti kita itu jahat, tidak pantas dimaafkan, dan wajar dihukum. Kita kemudian menjadi marah.

Kita rela, hati kita dibakar oleh amarah. Lama kelamaan, rasa amarah itu berubah menjadi benci dan dendam. Kita menginginkan orang yang menyakiti kita mendapatkan balasan yang setimpal. Tetapi bukankah ini seperti menabur garam di atas luka?

Mengapa kita begitu sukar untuk memaafkan? Apakah kita boleh membenci seseorang hingga bertahun-tahun lamanya. Apakah itu tidak meletihkan? Apakah kita tidak mau mengobati dan menjahit luka di hati?

Ego merupakan penghalang utama dalam sebuah proses memaafkan orang lain. Kita tidak mau mengaku kalah dan merasa diri kita tidak memiliki salah. Kita telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak gampang memaafkan seseorang. Kita merasa terdesak dan agak tersiksa jika diminta mengingat luka masa lalu.

Kita selalu asyik mengulang peristiwa yang telah berlalu dalam kepala kita. Mengapa kita berkeras untuk menyimpan kenangan yang menyakitkan itu? Mengapa kita tidak boleh membiarkan saja apa yang telah berlalu, abadikah masa silam itu?

Jika diteliti sunguh-sungguh, kita turut bersalah. Apakah kita yakin bahwasanya kita tidak pernah melukai orang lain? Malah, kita pantas meminta maaf pada orang lain yang telah “diserang” dan dimarahi berkali-kali di dalam kepala kita.

Sebagai umat Buddha, kita selalu berlatih untuk mengecilkan ego dengan bernamaskara atau bersujud di depan Buddha serta komunitas Sangha. Kita bersujud dengan penuh rasa hormat dan rendah hati, tanpa perasaan rugi atas apa pun ataupun dipaksa.

Sesama umat Buddha, kita boleh saling meminta maaf dengan cara yang sama. Lakukanlah dengan tulus, menggunakan seluruh tubuh kita untuk kebahagiaan bersama. Luka di hati kita dijahit dengan memaafkan, agar tak lagi menganga, dan kelak perlahan-lahan sembuh.

The post Memaafkan, Menjahit Hati yang Lara appeared first on .

Bhante Pannyavaro: Jangan Ikut Menyebarkan Hoax

$
0
0

Banyak berita bohong (hoax) beredar di dunia maya, terutama di media sosial. Lalu, bagaimana cara memilahnya? Menurut Bhante Pannyavaro, umat Buddha harus hati-hari dalam memilih dan memilah konsumsi informasi.

“Menurut Dhamma (agama Buddha), makanan ada empat jenis: (1) Kabalimka ahara (makanan fisik), (2) Phassa ahara (makanan kontak panca indera dan pikiran), (3) Manosancetana ahara (makanan mental makanan karena keinginan/kehendak), dan (4) Vinnana ahara (makanan kesadaran),” Bhante Pannyavaro memulai uraiannya.

Kalau disingkat, makanan menurut Dhamma dibagi menjadi dua: makanan fisik dan makanan batin. “Kalau Anda tidak bisa memilih makanan yang baik, untuk Saudara, untuk anak-anak Saudara, pada saat bayi berumur tiga bulan, satu tahun, empat tahun, enam tahun mempunyai ahara yang berbeda dengan Saudara yang mungkin sudah dewasa. Pada saat Anda mulai tua, penyakit mulai datang, makanan juga harus diperhatikan. Banyak penyakit yang datang dari makanan kita,” imbuh Bhante.

“Apakah Saudara-saudara tidak memperhatikan makanan mental Saudara, setiap hari medsos itu memberi makanan mental yang buruk. Kalau setiap hari mungkin kita hanya makan sehari hanya tiga kali, mungkin lima kali, anak-anak kita atau mungkin Saudara sendiri, bisa mendapatkan kuliner, makanan batin yang buruk sepanjang hari, dan sepanjang malam dari media sosial.

“Biasanya ibu bapak dan anak-anak kita senang memakan makanan batin lewat media sosial yang tidak sehat. Yang sehat-sehat tidak laku. Contoh, ada medsos kuntilanak kelihatan di gang mawar. Semua ingin baca. Kalau Anda punya aji-ajian (ilmu) belut putih, semua perkara bisa lolos, sudah ada buktinya di KPK masih bisa juga lolos. Laris sekali medsos ini.

“Apakah itu sehat? Dan masih banyak lagi. Sering berita itu seperti benar tetapi bohong. Dan ada kalanya berita itu benar, Saudara tag itu benar, tetapi apakah perlu di-share. Benar bukan hoax, tetapi apakah perlu diteruskan? Sudahkah Anda pikir kalau diteruskan ini akan menimbulkan kejengkelan, kemarahan, kebencian, atau mungkin kekhawatiran yang tidak perlu?

“Makanan-makanan batin itu berbahaya sekali, dan kita senang. Anak-anak kita, kita biarkan mengonsumsi kuliner itu setiap hari. Tidak hanya sekali, lima kali, bahkan mungkin sepanjang hari. Apalagi kalau hari-hari libur, sepanjang hari anak-anak kita itu melihat cerita-cerita kuntilanak, belut putih, dan lain-lain.

“Mungkin juga kita, kalau WA kita, kalau Facebook kita menerima berita, berita itu benar. Apakah harus dilanjutkan? Pikir dulu. Anda melanjutkan berarti Anda membagikan kegelisahan, kecemasan, dan kebencian kepada orang lain.

“Makanan batin yang berupa keberhasilan anak bangsa, kemajuan bangsa dan negara ini, kerukunan, keharmonian tidak laku, padahal itu makanan sehat. Berhati-hatilah dengan makanan batin.

“Buddha Gotama menjelaskan empat ahara. Buddha tidak hanya menyebutkan kabalimka ahara, makanan jasmani. Tetapi Beliau menekankan makanan-makanan batin yang harus kita makan. Hadir pada perayaan Kathina dan perayaan Dhamma yang lain, mengajak keluarga, mendorong keluarga yang lain untuk ikut berdana, sebenarnya itu adalah makanan kita juga. Makanan bagi mental Ibu, Bapak dan Saudara semua.”

The post Bhante Pannyavaro: Jangan Ikut Menyebarkan Hoax appeared first on .

Viewing all 149 articles
Browse latest View live