Quantcast
Channel: Dharma Archives | Buddhazine
Viewing all 149 articles
Browse latest View live

Bhikkhu Uttamo: Dhamma yang Indah Adalah Dhamma yang Dijalankan

$
0
0

Sering kita mendengar, “Dhamma yang indah di awal, pertengahan, dan akhir.” Seperti apakah Dhamma yang indah itu? Bhikkhu Uttamo memberikan penjelasan di mana letak keindahan Dhamma di Vihara Dharma Suci, Pantai Indah Kapuk, Jakarta pada Minggu sore (13/12).

“Dhamma yang indah? Orang kalau ditanya soal yang indah-indah ini cenderung jadi promosi. Misalnya kita jualan sandal ataupun yang lainnya, kita selalu bilang produk kita yang paling baik. Maka dulu ada istilah kecap selalu nomor 1,” Bhante Uttamo memulai uraiannya.

Bhante melanjutkan, “Kenapa tidak ada ya yang bilang sandalnya nomor 2? Ga ada. Adanya sandal nomor 40.”

Dan jika dia ditanya apa keistimewaan sandal itu, dia akan promosi beli 1 dapat 1. “Beli yang kiri dapat yang kanan,” cetus Bhante yang disambut gelak tawa hadirin.

Lalu, bagaimana dengan Dhamma? Apakah punya keistimewaan? “Adanya malah kekurangan. Kekurangan rambut. Makin banyak belajar Dhamma makin lama makin berkurang rambut kita. Kumpul-kumpul dengan Bhante lama-lama rambutnya makin berkurang, ikut-ikut jadi Bhante,” Bhante berseloroh.

“Waktu saya dulu pertama kali kenal Dhamma, saya senang sekali, promosi ke mana-mana. Semua diajak berdebat,” Bhante mengenang, “Mereka yang belajar Dhamma secara teori saja akan dapat dengan mudah memenangkan perdebatan.”

Kok bisa? Karena belajar Dhamma mampu membuka sisi yang terbalik, seperti telapak tangan. Dhamma bisa melihat semua sisi telapak tangan. Tidak hanya satu sisi.

Bhante menyebut kekayaan sebagai contoh, “Hampir semua orang ingin menjadi orang kaya. Coba kalau misalnya Anda punya rumah cuma satu ruangan. Tidur di situ, ruang makan di situ, ruang tamu juga di situ. Lalu Anda ditanya, ‘Eh di mana istrimu?’ Anda langsung bisa menunjukkannya.

“Berbeda dengan orang kaya yang memiliki rumah besar. Ditanya istrinya lagi di mana, ‘Sebentar ya, saya telepon dulu. Oh ternyata istrinya lagi di mall’. Begitu juga kalau mau diajak makan bersama, dari lantai satu mau ajak makan orang yang di lantai dua, pakai BBM. Jadi dari lantai satu, ke server di negara lain dulu, baru sampai ke lantai dua. Semakin kaya seseorang, malah semakin sulit merasakan kebersamaan. Tetapi orang miskin, sangat mudah merasakan kebersamaan. Jadi enak kaya atau miskin?”

Bhante kemudian membandingkan dengan riwayat Pangeran Siddharta, “Saat anaknya lahir, bukannya merasa bahagia, namun ia merasa seperti belenggu. Orang-orang kalau anak pertamanya lahir, pasti bahagia. Lho ini malah merenung. Malah menganggap belenggu. Nah ini kan logikanya terbalik.”

Bhante menekankan, saat logika terbalik sudah kita pahami, maka kita bisa memenangi banyak perdebatan.

Ada misalnya umat bilang ke Bhante Uttamo, “Saya tidak suka dengan Bhante.” Bhante bisa saja bilang balik, “Kalau gitu ngapain kamu ke sini?” Tapi Bhante tidak melakukannya. “Saya tanya dulu kenapa? Lalu kalau misalnya dia bilang ga suka Bhante cuma pakai jubah?”

“Ini sisi gelapnya, maka kita harus bisa membalikkan dari sisi putih,” Bhante melanjutkan, “Saya bisa pergi ke acara pernikahan dan kematian dengan pakaian yang sama. Jubah ini saja. Coba kalau orang biasa ke kondangan pakai baju merah, berani ga pakai baju merah ke rumah duka? Jadi enak menjadi Bhante, mau ke mana saja tidak usah pusing mikirin mau pakai baju apa.”

Lalu misalnya dia bilang, “Oh iya yah, ternyata enak juga jadi Bhante.” Nah ini sisi putih, kita bisa balikin lagi sisi sebaliknya, “Kalau jadi Bhante enak, kenapa yang jadi Bhante sedikit?”

“Nah dengan mengetahui logika terbalik seperti ini, kita bisa berdebat dari pagi sampai malam. Di sinilah kita bisa memahami dua sisi Dhamma,” ujar Bhante.

“Namun jika saya terus berdebat saja, maka kita hanya menyakiti perasaan orang. Hanya akan menimbulkan kebencian dan dendam. Lebih baik kita melihat berdasarkan ketertarikan.”

Bhante melanjutkan, “Menurut Dhamma, kita tertarik pertama dikarenakan penampilan. Misal Anda suka dengan lawan jenis, pertama kali lihat dari penampilannya. Namun jika kita melihat berdasarkan ketertarikan, suatu saat akan habis. Makanya kalau ada umat yang bilang Bhante harusnya pakai jubah bermacam-macam dong, yah kita pikir ndak usah lah.”

Ketertarikan yang kedua adalah melalui pribadi. Misalnya dulu murid-murid Buddha memiliki kesaktian, bisa terbang, dan lain sebagainya. Zaman sekarang hampir semua Bhante bisa terbang, pakai tiket pesawat. Namun Buddha tidak menyarankan hal tersebut dilakukan, karena nantinya orang tertarik kepada Dhamma hanya karena pribadi tertentu. Contoh lain misalnya kita percayai dengan perdukunan. Lalu suatu waktu dukun ini meninggal, kita tidak mau datang lagi, karena menganggap murid-muridnya tidak jago seperti gurunya. Lalu kita hanya akan datang saat perayaan satu tahun dukun itu meninggal kemudian lama-lama akan habis juga.

“Orang yang tertarik karena keindahan Dhamma, maka ia akan tertarik untuk belajar. Mendekat,” ujar Bhante, “Pernah melihat burung merak? Burung merak jantan kalau dia membuka ekornya, Wah… itu merak-merak betina akan klepek-klepek. Coba lihat hewan yang lain, kucing misalnya. Saat kucing musim kawin, kucing jantan akan mengejar-ngejar kucing betina. Begitu juga dengan anjing dan hewan lainnya. Tidak ada hewan lain di mana yang betina mengejar yang jantan.”

“Seperti inilah Dhamma, seperti merak jantan yang dikejar-kejar oleh merak betina,” Bhante memberi kiasan.

“Sekarang kita memahami Dhamma tidak perlu diajari melalui perdebatan, juga tidak bisa seperti penampilan ataupun pribadi karena suatu saat akan habis. Namun Dhamma dapat kita ajarkan seperti merak jantan.”

Bhante mencontohkan misalnya kita ditanya, “Kamu belajar apa sih jadi baik gini?” Nah di sinilah kita mulai menunjukkan ekor merak kita. Indahnya Dhamma dilihat bukan dari teori, namun pada pelaksanaan Dhamma.

Bhante kemudian bercerita, dulu, sekitar 30 tahun yang lalu, ada sepasang umat Buddha yang masih kuliah. Si pria ini orangnya pemarah sekali, namun dia mulai belajar Dhamma. Sedangkan yang wanita tidak mengenal Dhamma. Suatu ketika terjadi permasalahan, adik si wanita ini datang menghampiri si pria dengan membawa bangku kayu. Dan pada saat itu, adik wanitanya ini menghantamkan bangku kayu tersebut ke kepala si pria.

Namun si pria pemarah yang sudah belajar Dhamma dan melaksanakan Dhamma ini tidak membalas dan hanya berbicara dengan adik si wanita hingga masalahnya pun terselesaikan tanpa adanya keributan berkepanjangan. Dari sinilah kemudian si wanita bertanya, “Kok kamu bisa sih sesabar itu? Padahal kan kamu orangnya pemarah?” Nah akhirnya dijelaskan bahwa ia belajar Dhamma hingga akhirnya si wanitanya pun ikut belajar Dhamma hingga sekarang sudah menikah dan memiliki anak dan hingga saat ini pun kedua pasangan ini masih tetap aktif dalam organisasi di vihara.

Nah, Dhamma apa saja yang dijalankan si pria tersebut?

  1. Kerelaan
    Rela memberikan materi, rela memberikan yang non materi seperti mendengarkan orang yang bicara, dan lain-lain. Misalnya istri sedang ajak ngomong, si suami lagi menonton televisi. Nah akhirnya si istri ngomong pun tidak didengarkan. Tapi karena ingin melaksanakan Dhamma, si suami akhirnya mematikan televisi dan mendengarkan istrinya bicara. Di sini istrinya pun bisa bertanya, suaminya kok berubah menjadi lebih baik? Nah di sinilah kita mengembangkan ekor merak kita.
  2. Kemoralan
    Contohnya jujur. Orang yang jujur bisa dipercaya. Dari situ kita jadi ditanya, kok bisa sih jadi orang yang bisa dipercaya? Kita jawab, “Belajar Dhamma!” Dengan begini kita menjadi Dharmaduta.
  3. Konsentrasi
    Orang yang sulit tidur adalah orang yang paling menderita. Orang yang sulit tidur itu harus bayar untuk bisa tidur, makan obat. Lalu orang yang tidak bisa matematika, bisa les. Lha kalau tidur? Tidak ada lesnya. Dengan belajar meditasi inilah kita les tidur. Kenapa demikian? Karena tubuh manusia ini ada dua: tubuh jasmani dan batin. Nah, kalau kita sulit tidur, pikiran kita yang tidak bisa berhenti. Dengan belajar meditasi, seseorang itu menjadi belajar fokus. Saat pikiran sudah bisa dikendalikan, tentu mudah bagi kita untuk tidur.

Dengan melihat Dhamma yang kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari inilah keindahan Dhamma itu. Ketika kita melaksanakan Dhamma, apakah itu kerelaan, moralitas atau konsentrasi, kitalah menjadi merak jantan. Bukan karena kita bisa memberikan ceramah ataupun yang lainnya, namun ketika kita melaksanakan Dhamma, maka dengan sendirinya kita telah menjadi Dharma Duta dari Dhamma itu sendiri.

Dan saat itulah kita menjadi sumber kebahagiaan bagi diri kita, lingkungan, dan sekitar kita.


Apa Tujuan Umat Buddha ke Vihara?

$
0
0

Sebagian besar masyarakat memanfaatkan hari Minggu untuk refresing, jalan-jalan, atau berbelanja di mall. Namun berbeda dengan umat Buddha, khususnya di kota-kota besar yang justru menghabiskan hari Minggu dengan melakukan aktivitas di vihara untuk membaca parita, mendengarkan ceramah Dhamma, berdana, dan kegiatan-kegiatan lain. Sebenarnya apa sih tujuan umat Buddha setiap hari Minggu ke vihara?

Dalam sebuah ceramah Dharma pada hari Minggu (10/1) di Vihara Mahabodhi, Semarang, Bhikkhu Tirasobano menjelaskan apa sesungguhnya tujuan umat Buddha pergi ke vihara. Menurut bhante asal Lombok, Nusa Tenggara Barat ini, tujuan umat Buddha pergi ke vihara adalah untuk belajar dan berlatih Buddha Dhamma.

“Salah satu tujuan kita belajar dan berlatih Dhamma adalah untuk meningkatkan kualitas batin kita, meningkatkan kualitas batin berarti juga meningkatkan kualitas hidup kita. Kalau ditanya hidup yang berkualitas itu seperti apa? Menurut Buddha Dhamma, hidup yang berkualitas adalah hidup yang senantiasa berbahagia, lebih bahagia, dan semakin bahagia. Bukan hidup yang senantiasa galau, lebih galau, dan semakin galau,” ujarnya.

Menurut Bhante, kelahiran menjadi manusia mempunyai kesempatan bagus untuk meningkatkan kualitas batin, karena untuk terlahir menjadi manusia bukan hal yang mudah dan membutuhkan jasa-jasa kebajikan yang banyak, apalagi bisa terlahir menjadi manusia dan dapat belajar Dhamma.

Mengutip kata-kata Buddha, Bhante lulusan STAB Smaratungga ini menjelaskan, “Untuk terlahir menjadi manusia sangat sulit, butuh jasa-jasa kebajikan yang besar apalagi terlahir sebagai manusia dan bisa belajar Dhamma. Bisa saja kelahiran kita yang akan datang bukan terlahir sebagai manusia, celaka lagi kalau kita terlahir ke alam-alam rendah.”

Bhante memberi contoh, “Di banyak tempat, Bhante banyak berjumpa dengan orang-orang yang rajin ke vihara, tapi hal-hal baik tidak berkembang, malah kemarahannya berkembang, keserakahannya berkembang.”

“Untuk itu, kita harus meningkatkan kualitas hidup dengan belajar di vihara. Vihara adalah tempat meningkatkan kualitas-kualitas kehidupan kita. Jadi, sebagai komunitas Buddhis, kita harus bisa meningkatkan kualitas batin. Inilah pentingnya kita belajar dan berlatih juga untuk mengkondisikan karma baik kita berbuah tepat pada waktunya,” tambahnya.

Lebih lanjut, Bhante Tera menjelaskan jenis-jenis manusia berdasarkan kualitas batin dan moralnya. Menurut Buddha Dhamma, ada lima jenis manusia berdasarkan kualitas batin. Apakah kelima jenis manusia tersebut?

Yang pertama adalah niraya manussa (manusia neraka), yaitu istilah untuk manusia yang mempunyai karakter batin penuh kebencian, rasa dendam, kemarahan, dan permusuhan. “Orang-orang yang senang memelihara kebencian, kemarahan, rasa permusuhan dan rasa dendam itu menurut pandangan Buddha Dhamma termasuk dalam niraya manussa. Mengapa disebut sebagai manusia neraka? Karena kebencian, kemarahan, rasa bermusuhan dan dendam, selain membuat hidup kita menderita seperti di neraka juga sebagai tiket masuk neraka setelah meninggal.”

Bhante menambahkan, untuk merasakan neraka dan sorga, kita tidak harus menunggu meninggal. Selain merupakan alam kehidupan, sorga adalah kondisi-kondisi menyenangkan dan kebahagiaan yang kita rasakan. Jadi di saat kita merasa bahagia, kita mengalami kondisi sorga. Kebalikannya, kalau saat ini kita sedang mengalami emosi, kemarahan, galau dan lain-lain, itulah neraka.

Yang kedua, asura manussa (manusia hantu) adalah manusia yang mempunyai karakter dan batinnya seperti hantu yang selalu kelaparan. Hantu dalam istilah Buddhis adalah makhluk-makhluk yang senantiasa kelaparan dan kehausan. “Bagi orang-orang yang mempunyai sifat keserakahan, ketamakan, kekikiran dan kemelekatan yang sangat tinggi, orang seperti itu akan selalu kelaparan tidak pernah puas seperti asura.”

Yang ketiga, tirachana manussa (manusia binatang), yaitu sebutan kepada manusia-manusia yang mempunyai sifat-sifat kegelapan batin yang sangat kuat. Kegelapan batin ini artinya tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Kegelapan batin juga bisa mengkondisikan kehidupan selanjutnya menjadi binatang. “Dan lebih celakanya lagi, apabila kebalik, menganggap yang baik sebagai tidak baik dan yang baik sebagai tidak baik,” ujar Bhante.

Yang keempat, peta manusaa (manusia setan) adalah sebutan bagi orang-orang yang mempunyai sifat iri hati yang sangat tinggi. “Iri hati itu kalau kita istilahkan sms (senang melihat susah, dan susah melihat senang,” ujar Bhante. Orang-orang yang mempunyai sifat dan karakter iri hati disebut sebagai manusia setan.

Dan yang kelima adalah deva manussa (manusia sorga), yaitu sebutan bagi orang-orang yang selalu berusaha mengembangkan karakter-karakter batin yang baik, karakter yang penuh cinta kasih, kesadaran, dan kebijaksanaan. “Seperti Bapak Ibu hari ini yang datang ke vihara dan belajar Dhamma untuk meningkatkan kualitas batin, seperti itulah manusia surga,” jelas Bhante.

Menurut Bhante, semua manusia berpotensi mempunyai kelima kualitas batin tersebut, tinggal manusia mau melatih dan mengembangkan yang mana.

“Kalau Anda ingin bahagia seperti manusia sorga, teruslah belajar mengembangkan kualitas batin,” pesan Bhante mengakhiri ceramah Dhammanya.

Bhikkhu Sri Pannyavaro Ajak Anak Muda Jalankan Atthasila untuk Memperkuat Inner Strong

$
0
0

Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah mengadakan pertemuan anak-anak muda dalam Dhamma. Acara yang digelar pada 19-21 Februari 2016 ini diikuti lebih dari 40 anak-anak muda dari berbagai wilayah di Indonesia, khususnya anak muda Buddhis dari Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bhikkhu Sri Pannyavaro selaku Kepala Vihara Mendut menyambut baik atas kegiatan ini. Menurutnya, pemuda Buddhis harus merasakan tinggal di vihara, belajar Dhamma, meditasi, dan berlatih atthangasila (delapan sila).

“Tinggal di vihara sampai hari Minggu tentu berbeda dengan di rumah sendiri, berbeda dengan di kos. Tidur mungkin tidak nyaman, kamar mandi juga mungkin tidak nyaman, tetapi kamar mandi kami banyak tidak perlu ngantri, makan mungkin juga tidak nyaman. Tetapi semua itu menjadikan latihan bagi kita. Belajar Dhamma tidak hanya pengertian secara intelektual, ada sesuatu yang harus kita bangun dari dalam.

“Suatu saat dalam kehidupan ini, kita akan menjumpai keadaan yang tidak hanya galau tetapi juga sulit sekali. Ketika kita dihadapkan dalam situasi yang menuntut kita untuk bertahan, pada saat itu pengertian Dhamma, pengetahuan dan praktik-praktik Dhamma sangat kita butuhkan,” jelas Bhante.

Bhante memberikan contoh, “Dalam keadaan sulit, materi atau dalam kata yang kasar uang sebanyak apa pun, tidak bisa menolong kita. Ada satu uraian yang sangat menarik, kalau suatu saat Anda sakit, dokter mengatakan ‘Wah ini sulit sembuh’, dan Anda mengatakan, ‘Dok tolonglah, Dok. Saya tidak akan sayang dengan uang yang saya punya, saya rela memberikan semua.’ Dokter akan mengatakan, ‘Itu sulit, uang Anda tidak bisa menolong lagi. Kemungkinan kaki Anda akan dipotong satu atau diamputasi kalau mau selamat. Anda potong saja, Dok, silahkan. Pokoknya yang penting saya selamat’.

“Seperti itulah, dalam keadaan seperti itu, kekuasaan, kedudukan, pengaruh, materi tidak ada gunanya. Andai kaki kita dipotong satu, kita rela asalkan selamat. Dan dalam keadaan seperti itulah kita memerlukan inner strong (kekuatan di dalam) untuk bertahan, biar jasmani ini hancur mental kita harus kuat,” jelasnya.

Bukan hanya diajak belajar Dhamma dan berlatih meditasi, kegiatan ini juga mengajak peserta untuk berlatih menjalankan atthangasila.

“Besok panitia berusaha untuk mengajak saudara-saudara untuk melatih delapan sila, memang tidak mudah. Sila-sila yang lain mungkin tidak berat, tetapi tidak makan sore mungkin berat banget apalagi yang belum pernah melakukan.

Berlatih atthangasila harus dilakukan dengan niat. Kalau suatu sore Anda di perjalanan, atau kiriman uang Anda sedikit, lalu kemudian Anda pagi sarapan sedikit, siang makan, lalu sore Anda berfikir, ‘Ah nggak usah makan sore saja, itung-itung atthangasila saja, karena sangu tinggal tipis, itu tidak latihan namanya,” jelas Bhante.

Menurut Bhante, dalam latihan atthangasila masih diperbolehkan minum kopi, jahe, teh manis dan makan permen, karena berlatih atthangasila bukan hanya persoalan lapar, tetapi melatih mental untuk menghadapi situasi yang sulit dan bagaimana mencegah nafsu keinginan yang tidak pernah mati.

“Kalau semua keinginan kita, kita turuti dan berhasil, wah puas sekali, bahagia rasanya. Tetapi dengan melatih atthangasila, kami ingin mengajak saudara untuk mengalami bahwa tidak hanya keinginan itu kalau dituruti membawa kepuasan, membawa kenikmatan, membawa nyaman, tetapi kalau suatu saat keinginan itu berhenti, keinginan-keinginan tertentu dihentikan, hawa nafsu tidak selalu dituruti dan dia mau berhenti, itu juga kebahagiaan. Meskipun itu tidak mudah.

“Selama ini kan kita berpandangan, bahwa bahagia itu kalau semua keinginan kita terpenuhi, bahagia itu kalau nafsu terpenuhi, bahagia itu kalau apa yang kita inginkan tercapai. Benar, tetapi ada dimensi lain, ada bahagia yang lain kalau suatu saat nafsu-nafsu tertentu kita hentikan,” jelas Bhante.

Bhante memberi contoh lain, “Saya bertemu dengan seorang wanita Katolik dari Surabaya, namanya Ibu Esti Susanti. Psikolog juga dia, tetapi dia aktif bekerja sosial untuk anak-anak gelandangan, pekerja seks komersial, mereka yang tidak punya keluarga, dan lain-lain. Dia sangat mengerti Dhamma, mengerti anatta dengan baik. Beberapa hari yang lalu bertemu saya di Jogja, kami sama-sama pengurus Interfide. Ibu Esti ini suka puasa, mirip dengan atthanggasila, tetapi bukan atthangga sila. Lalu temannya bertanya, ‘Eh kok kamu puasa?’ dan dia menjawab, ‘Oh perlu sekali saya puasa untuk memperkuat inner stong saya, untuk kalau saya bertekad melakukan sesuatu yang baik membuat saya tidak mudah menyerah, dan tekad itu saya latih dengan mental puasa. Kalau saya berhenti berpuasa, saya tidak merasa berdosa dengan siapa pun, tetapi saya berprasetya kepada saya sendiri supaya kekuatan mental saya tetap kuat’, saya mengatakan, ‘Ibu itu sama dengan pandangan Buddhis’. Lalu dia mengatakan, ‘Oh iya, saya juga mengerti Buddhisme’.”

“Begitulah menjalankan atthasila, kita tidak bersumpah kepada siapa pun, kita tidak takut pada siapa pun, tetapi kita berprasetya untuk latihan kita sendiri, suatu saat saya akan menghadapi persoalan yang sulit, dan saya membutuhkan inner stong,” ujar Bhante Sri Pannyavaro mengakhiri pesan Dhammanya.

Ajahn Brahm: Ingin Bahagia? Berdamailah dengan Diri Sendiri!

$
0
0

Beberapa waktu lalu, saya pernah membagikan pengalaman saya saat mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan Dhamma talk Ajahn Brahm di Singapura. (Baca Penderitaan dan Kebahagiaan di Mata Ajahn Brahm) Kali ini saya kembali mendapatkan karma baik untuk kembali berkesempatan mendengarkan Dhamma talk Ajahn Brahm pada tanggal 18 Febuari 2016.

Sama seperti sebelumnya, acara kali ini juga diadakan di Singapore Conference Hall pukul 07.30 malam dan diorganisir oleh Bodhinyana Singapore. Jika pada acara beberapa bulan lalu saya datang terlambat, maka kali ini saya berusaha memastikan untuk datang tepat waktu agar saya bisa mendapat tempat duduk yang lebih baik. Maka ketika jam sudah menunjukkan pukul 06.30 malam, saya segera membereskan pekerjaan saya di kantor dan langsung menuju ke tempat acara. Kebetulan tempat saya bekerja berseberangan dengan tempat acara sehingga saya bisa berjalan kaki dengan santai ke sana.

Sama juga seperti sebelumnya, para peserta diharuskan menunjukkan konfirmasi booking dan membayar 10 dolar Singapura untuk dapat masuk ke dalam. Masih banyak tempat duduk yang kosong dan saya memilih untuk duduk di kursi agak pinggir, dengan pertimbangan bahwa saya hanya sendiri dan akan memudahkan saya kalau nanti mau keluar. Cukup disayangkan bahwa teman sekantor saya berhalangan hadir di acara ini karena sedang sakit.

Hanya butuh waktu 30 menit untuk mengisi 1000 tempat duduk yang ada di sana. Akhirnya kurang lebih pukul 08.00 malam, acara pun dimulai. Setelah sambutan ringan dari moderator, Ajahn Brahm pun tampil di panggung. Tema yang dibawakan kali ini adalah “Making Peace with Yourself and the World” (Berdamai dengan Diri Sendiri dan Dunia). Tema yang cukup menarik menurut pandangan saya pribadi, karena bagaimana kita bisa mencapai kebahagiaan kalau kita bahkan tidak bisa berdamai dengan diri sendiri.

Seperti biasa, Ajahn Brahm banyak menggunakan cerita sebagai sarana untuk menyampaikan ajarannya. Untuk tema kali ini, Ajahn Brahm berfokus pada cerita tentang pengalamannya saat pertama kali hendak membangun vihara di Australia, di mana Ajahn Brahm harus bertukang sendiri memasang batu bata. Namun setelah temboknya berdiri ternyata ada dua batu bata yang tidak terpasang dengan sempurna. Ajahn Brahm pun merasa begitu kesal sampai ingin menghancurkan tembok itu dan mengulangi memasang batu bata dari awal. Namun Ajahn Brahm lupa, bahwa selain dua batu bata jelek itu, masih ada 998 batu bata lainnya yang dengan sempurna membentuk tembok yang kokoh. Cerita ini sudah sangat sering dibawakan oleh Ajahn Brahm, tapi tidak pernah membosankan.

Hal seperti inilah yang seringkali terjadi di dalam hidup kita. Kita hanya melihat sisi buruk dari suatu hal saja. Kita hanya berfokus pada hal-hal yang negatif, padahal ada banyak sisi baik yang mungkin luput dari penglihatan kita. Ajahn Brahm kembali menegaskan hal ini dengan perumpamaan seorang istri yang mendapati suami yang sudah dinikahinya selama tiga tahun ternyata berbohong padanya. Si istri yang mengetahui bahwa suaminya berbohong, lalu langsung menuntut cerai. Kasus ini mirip dengan kisah batu bata tadi. Si istri hanya melihat satu sifat jelek suaminya saja, padahal kalau dipikir lebih jauh selama tiga tahun pernikahan mereka berapa banyak sifat baik suaminya yang sudah ditunjukkan kepada istrinya itu. Karena si istri hanya fokus pada kejelekannya sajalah maka segala kebaikannya terlupakan.

Kenapa hal seperti itu bisa terjadi? Jawabannya adalah karena kita berharap terlalu banyak. Kita berharap pada kesempurnaan, padahal ketidaksempurnaan adalah hal yang wajar dan alami. Justru karena kita memaksakan untuk harus sempurna, harus bahagia, harus ini dan itu yang serba baik, hal itu malah mengakibatkan kita lupa, bahwa apa yang ada sesungguhnya adalah sudah baik. Tembok bata itu memang tidak sempurna, tapi masih okelah. Lalu suami atau istri kita juga tidak sempurna, tapi masih baguslah. Begitulah seharusnya kita berpikir dan bersikap. Jangan fokus pada hal yang negatif, tapi berfokuslah pada hal yang positif. Karena pikiran yang negatif justru malah akan meningkatan kemungkinan hal-hal buruk untuk terjadi. Sebaliknya pikiran yang positif akan meningkatkan kemungkinan hal-hal yang baik juga untuk terjadi.

Saya mulai memahami kaitannya dengan tema kali ini. Bila kita menganggap batu bata jelek itu sebagai suatu kesatuan dari tembok, maka itu berarti kita menerima dengan sepenuh hati hal-hal jelek yang terjadi dalam hidup kita. Kita tidak lagi menyalahkan diri kita sendiri, yang artinya kita telah berdamai dengan diri kita sediri. Ya inilah kejelekan diri saya, saya menerimanya dan selain kejelekan itu saya juga masih punya banyak kebaikan lain sebagai bagian dari diri saya. Dengan berdamai dengan diri sendiri, kita juga bisa menerapkan hal tersebut ke berbagai hal lainnya di luar sana. Kita jadi memandang orang lain dari sisi baiknya dan tidak dari sisi jeleknya. Seperti yang dijelaskan oleh Ajahn Brahm selama kunjungan sosialnya ke penjara, ia tidak pernah memandang para narapidana sebagai perwakilan kejahatan, namun ia memandang mereka sebagai seorang manusia yang masih memiliki sisi baik.

Sebagai penutup, Ajahn Brahm mengungkapkan harapannya untuk mewujudkan kedamaian di antara umat beragama dengan perumpamaan sebuah orkestra. Di dalam sebuah orkestra, setiap individunya seorang ahli, maestro, yang sudah puluhan tahun menekuni bidangnya masing-masing. Ada yang menekuni biola, drum, terompet, dan lain-lain. Mereka sendirian mampu memainkan nada yang indah, namun mereka bersama-sama akan mampu memainkan nada yang luar biasa, lebih dari sakadar indah. Demikianlah juga akan sangat indah apabila antar umat beragama mampu berjalan berdampingan bersama-sama. Tidak akan ada lagi yang namanya perselisihan atau kekerasan apa pun juga. Sebuah pernyataan yang cukup menarik untuk menutup ceramah kali ini.

Moderator kemudian mengambil alih panggung untuk memandu sesi tanya jawab. Para peserta yang ingin bertanya bisa mengirimkan pertanyaannya lewat facebook Bodhinyana Singapore, dan beberapa pertanyaan dipilih untuk dibahas bersama. Ada sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik dan berkesan untuk saya, yaitu pertanyaan di mana si penanya memiliki hidup yang sempurna namun terkadang entah bagaimana merasa tidak bahagia tanpa tahu sebabnya. Mungkin hal ini juga sering terjadi pada diri kita sendiri, dan Ajahn Brahm menjawabnya dengan baik sekali. Jangan khawatir hal itu adalah normal, tidak bahagia adalah bagian dari alam. Jangan biarkan orang lain mengontrol hidup kita, apabila kita ingin bahagia maka kita harus bahagia karena kita memang ingin bahagia, bukan karena orang lain menginginkan kita bahagia. Demikian juga bila kita cemberut, jangan biarkan orang lain yang membuat kita cemberut. Jadi, don’t worry, be grumpy.

Berhubung pertanyaannya sangat banyak dan waktu yang terbatas, akhirnya tidak semua pertanyan yang masuk dibacakan. Akhirnya acara pun ditutup oleh moderator dan diiringi oleh tepuk tangan yang meriah dari para peserta. Bagi peserta yang ingin membeli buku-buku Ajahn Brahm, membeli berbagai merchandise, ataupun ingin bukunya ditandatangani oleh Ajahn Brahm maka bisa ikut antri di lobi depan. Namun karena waktu sudah menunjukkan pukul 09.30 malam waktu Singapura, saya memilih untuk segera berdana dan langsung meninggalkan tempat acara. Secara pribadi saya cukup puas dengan acara kali ini dan semoga saya bisa mendapat kesempatan untuk mendengar ceramah-ceramah Ajahn Brahm yang inspiratif lagi di lain kesempatan.

Sebagai catatan tambahan, Ajahn Brahm akan kembali melakukan tur ceramah “Happy Everyday” di enam kota di Indonesia pada tanggal 9-14 April 2016. Enam kota yang akan dikunjungi adalah Medan (9/4), Jakarta (10/4), Bandar Lampung (11/4), Pangkal Pinang (12/4), Yogyakarta (13/4), dan Denpasar (14/4). Tur ceramah yang memasuki tahun kedelapan secara berturut-turut ini diorganisir oleh Ehipassiko Foundation.

7 Jenis Kekayaan yang Bisa Bikin Hidup Bahagia

$
0
0

Sudah sejak beberapa hari sebelumnya saya mengingatkan kepada diri saya bahwa pada Minggu, 20 Maret 2016 pukul 1 siang jangan lupa untuk datang ke kebaktian “Indonesian Service” di Buddhist Fellowship Singapura. Bahkan saya sampai memasang reminder pada ponsel saya agar jangan sampai lupa.

Buddhist Fellowship sendiri adalah organisasi Buddhis non-sektarian yang bertujuan untuk mengakomodir para pelaku agama Buddha lintas tradisi. Organisasi Buddhis ini kebetulan memiliki cukup banyak anggota yang berasal dari Indonesa. Untuk mengakomodir ‘temu kangen’ antar orang Indonesia ini maka digagaslah Indonesian Service, yaitu kebaktian ala Indonesia yang dilaksanakan pada minggu ketiga setiap bulan.

Lalu kenapa saya sampai tidak boleh lupa dengan Indonesian Service pada 20 Maret 2016 ini? Karena kali ini Indonesian Service kedatangan pembicara luar biasa dari Indonesia, yaitu Handaka Vijjananda, pendiri Ehipassiko Foundation, sebuah yayasan nirlaba di Indonesia yang berkarya di bidang Studi, Aksi, Meditasi berdasarkan Dharma Universal.

Kebaktian dimulai seperti biasa dengan pengecualian bahwa hari itu ruangan terasa penuh sesak. Rupanya sama seperti saya, banyak yang penasaran ingin langsung mendengar sharing dari Handaka hari itu. Kali ini tema yang dibawakan adalah “Happy Everyday” atau “Bahagia Setiap Hari”. Handaka menghubungkan Bahagia Setiap Hari ini dengan kaya, atau tepatnya benar-benar kaya, karena bagi kebanyakan orang ukuran kebahagiaan adalah kekayaan. Apakah benar demikian?

Handaka memulai ceramahnya dengan membandingkan adanya pergeseran urutan kasta antara zaman Buddha Gautama dengan zaman kita pada saat ini. Pada zaman Buddha Gautama, dikenal lima kasta:

1. Ksatria: kaum pejabat alias para raja
2. Brahmana: kaum agamawan, termasuk di dalamnya pertapa, penasihat raja, dan lain-lain
3. Waisya: kaum pedagang atau pengusaha
4. Sudra: kaum pekerja atau bahasa kerennya adalah karyawan
5. Paria: golongan paling rendah dan paling hina di luar empat kasta di atas

Pada zaman tersebut, manusia masih berpegang teguh pada moral. Artinya apa? Artinya adalah orang yang bermoral tidak baik maka akan merasa hina dan minder. Kita bisa melihat bahwa ‘hiri’ alias rasa malu untuk berbuat jahat masih melekat di kehidupan orang-orang.

Namun di era modern seperti saat ini, terjadi pergeseran urutan yang luar biasa, di mana kasta tertinggi seolah-olah adalah kasta Waisya alias pengusaha yang punya banyak uang. Uang menjadi begitu dipuja dan ditakuti bahkan oleh kasta Ksatria ataupun Brahmana. Para businessman ini merasa dengan kekayaan yang melimpah mereka bisa melakukan apa saja.

Sebenarnya apakah yang dimaksud kaya itu berarti punya uang banyak? Punya mobil mewah? Punya properti di mana-mana? Bagi sebagian orang mungkin definisi kaya adalah seperti itu, namun Handaka menjabarkan bahwa sebenarnya ada tujuh macam definisi ‘kaya’.

#1 Kaya Raga
Sesuai definisinya, raga berarti tubuh. Secara harafiah ini berarti punya tubuh yang sehat. Handaka sangat menganjurkan olahraga secara teratur paling tidak dua hari sekali, karena percuma kalau saat muda kita sibuk bekerja ngumpulin duit tetapi karena kurang olahraga nanti saat tua duit kita habis untuk biaya rumah sakit.

#2 Kaya Harta
Seperti sebutannya ini benar-benar harta duniawi yang ada nilai nominalnya. Apa boleh umat Buddha punya harta banyak? Bukannya boleh lagi, malah kalau bisa harus. Buddha Gautama tidak pernah melarang umatnya untuk memiliki harta. Namun tentu saja harta tersebut harus didapat sesuai dengan Dhamma. Alasan lain kenapa umat Buddha harus kaya harta adalah agar bisa dana materi, karena berbagi adalah salah satu resep untuk kita menjadi orang yang disenangi dan disukai oleh orang lain. Janganlah kita menjadi winner but stands alone. Kaya materi tapi tidak ada orang lain untuk berbagi, sungguh menyedihkan.

#3 Kaya Otak
Setelah kaya harta, maka harus kaya otak juga. Karena kalau tidak maka harta kita bisa habis akibat tidak bisa kita kelola dengan baik. Work smart, not work hard. Bila kita bekerja dengan pintar, maka kita pasti akan bisa lebih produktif, yang berarti kita akan punya lebih banyak waktu tersedia yang bisa kita manfaatkan untuk hal-hal lain yang lebih berguna. Misalnya saja waktu lebih banyak untuk bersama keluarga atau orang yang dicinta, ataupun waktu untuk pelayanan Dhamma, dan lain-lain

#4 Kaya Waktu
Orang sering mengatakan time is money. Namun Handaka dengan tegas membantah pernyataan tersebut, karena sesungguhnya waktu jauh lebih berharga daripada uang. Kehilangan uang masih bisa dicari, namun waktu yang sudah berlalu tidak akan bisa terulang lagi. Oleh sebab itu orang yang menggunakan waktunya untuk berbuat banyak hal yang baik dan berguna sebenarnya akan menjadi orang yang kaya karena orang tersebut sesungguhnya telah menginvestasikan waktunya untuk menabung karma baik di kehidupan yang akan datang.

20160404 7 Jenis Kekayaan yang Bisa Bikin Hidup Bahagia 2

#5 Kaya Karya
Karya berarti skill yang dimiliki. Kemampuan menyanyi, melukis, menari, dan lain-lain termasuk ke dalam Kaya Karya.

#6 Kaya Kawan
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, janganlah kita menjadi winner but stands alone. Orang yang sering memberi, ramah, baik tindakannya, serta tidak pilih kasih, biasanya akan banyak kawan. Namun bagaimana bila sudah melakukan segalanya yang baik-baik tapi tetap tidak berhasil menemukan sahabat sejati? Jangan khawatir karena Buddha mengatakan demikian:

“Apabila dalam pengembaraanmu, engkau dapat menemukan seorang sahabat yang berkelakuan baik, pandai, dan bijaksana, maka hendaknya engkau berjalan bersamanya dengan senang hati dan penuh kesadaran untuk mengatasi semua bahaya.

Apabila dalam pengembaraanmu, engkau tak dapat menemukan seorang sahabat yang berkelakuan baik, pandai dan bijaksana, maka hendaknya engkau berjalan seorang diri, seperti seorang raja yang meninggalkan negara yang telah dikalahkannya, atau seperti seekor gajah yang mengembara sendiri di dalam hutan.

Lebih baik mengembara seorang diri dan tidak bergaul dengan orang bodoh. Pergilah seorang diri dan jangan berbuat jahat, hiduplah dengan bebas (tidak banyak kebutuhan), seperti seekor gajah yang mengembara sendiri di dalam hutan.”

#7 Kaya Hati
Kaya hati di sini dihubungkan dengan 2 tujuan ajaran Buddha, yaitu (1) Anti-stres, maksudnya adalah untuk melati diri misalnya dengan bermeditasi sehingga kita siap menghadapi penderitaan alias kita tidak akan menjadi stres, dan (2) Character building, maksudnya adalah pengembangan diri sesuai dengan ajaran Dhamma, yaitu aloba (murah hati), adosa (baik hati), dan amoha (rendah hati).

Resep Ajahn Brahm dan Master Guo Jun agar Bahagia Setiap Hari

$
0
0

Beberapa waktu yang lalu, vihara Ajahn Brahm di Australia, dimasuki oleh pencuri. Demikian Ajahn Brahm mengawali sesi ceramahnya di The Palms Ballroom, Mall Taman Palem, Jakarta pada Minggu (10/4). Pencuri itu mengambil begitu banyak barang berharga yang ada di vihara tersebut. Namun sebagai umat Buddha yang baik, kita tidak perlu sedih apabila kehilangan barang-barang. Pencuri itu bisa mencuri barang-barang berharga yang ada di vihara, namun tidak bisa mencuri kebahagiaan kita.

Dan ternyata barang-barang yang tercuri tersebut, akhirnya bisa diklaim ke asuransi dan vihara Ajahn Brahm mendapatkan ganti rugi barang-barang yang sama dengan kondisi yang malah lebih baru! Ini membuat Ajahn Brahm berseloroh ingin punya email ataupun nomor telepon si pencuri yang bisa dihubungi, sehingga apabila ada barang di vihara yang ingin diganti, Ajahn Brahm akan menghubungi pencuri itu dan memintanya mencuri, agar Ajahn Brahm dapat mendapatkan barang yang lebih baru. Hahaha.

Inilah pesan pertama Ajahn Brahm pada sesi dharmatalk yang diselenggarakan oleh Ehipassiko Foundation tersebut. Ini adalah tahun kedelapan secara berturut-turut Ajahn Brahm melakukan tur ceramah di Indonesia dengan tajuk “Happy Everyday”. Tur ceramah kali ini singgah di enam kota, yaitu Medan, Jakarta, Bandar Lampung, Pangkal Pinang, Yogyakarta, dan Denpasar tanggal 9-14 April 2016. Khusus di Jakarta dan Yogyakarta, Ajahn Brahm didampingi oleh Master Guo Jun, seorang master Chan murid dari Master Sheng Yen.

Hal-hal buruk bisa saja terjadi dalam hidup kita, namun jangan biarkan orang lain mencuri kebahagiaan yang kita miliki. Ya, terkadang mungkin kita bisa kehilangan kebahagiaan karena kita sendiri melakukan kesalahan, namun jangan terlalu dipikirkan. Alih-alih sedih, akan lebih baik untuk kita belajar dari kesalahan tersebut.

Ajahn Brahm sendiri pernah melakukan kesalahan. Pernah suatu ketika, Ajahn Brahm diundang untuk membacakan pelafalan sutta untuk mendoakan seseorang yang sedang sekarat di rumah sakit. Setelah Ajahn Brahm membacakan sutta, si sakit tersebut berangsur-angsur sembuh dari sakitnya. Pihak keluarga si sakit malah jadi marah kepada Ajahn Brahm. Pihak keluarganya ternyata sudah berpikir bahwa karena orang ini sudah sekarat, maka mereka berharap dengan pelafalan sutta dari Ajahn Brahm, si sakit ini dapat meninggal dunia dengan damai, terbebas dari penyakit yang dideritanya. Pihak keluarganya bahkan sudah mengundang saudara-saudaranya yang berada di luar negeri untuk datang mengantar si sakit yang sudah sekarat ini untuk bersiap-siap upacara kematian.

Hikmah dari kejadian ini, Ajahn Brahm kini bertanya terlebih dahulu apabila diminta  membacakan doa kepada orang sakit, apakah dibacakan doa agar sembuh atau agar si sakit dapat meninggal dunia dengan damai. Jadi apabila kita melakukan kesalahan, tidak perlu bersedih, cukup belajar dari kesalahan itu.

Kendala selanjutnya untuk kita dapat berbahagia adalah waktu. Sedari kecil, Ajahn Brahm ditanamkan untuk belajar dengan baik dan tidak terus-terusan bermain sepakbola. Dengan belajar yang baik, Ajahn Brahm akan dapat lulus sekolah dan dapat berbahagia. Namun kenyataannya, ketika Ajahn Brahm lulus sekolah, ia harus menghadapi pelajaran-pelajaran dan ujian-ujian sekolah yang lebih susah lagi. Begitu seterusnya hingga tua, menganggap kalau kita sudah meninggal dunia dan masuk surga, kita baru bahagia. Padahal kenyataannya tidak demikian. Bahagia timbul bukan karena kesuksesan atau pencapaian sesuatu, bukan juga sebaliknya bahagia dulu baru kemudian sukses, namun bahagia itu sendiri adalah kesuksesan. Jika kita bahagia, itu artinya kita sukses menikmati saat ini.

Mengapa sukses menikmati saat ini adalah kebahagiaan? Karena seringkali kita merasa khawatir. Kita khawatir akan terjadi hal yang buruk, kita khawatir kita akan kena sakit kanker, kita khawatir saham turun, dan sebagainya. Inilah yang membuat kita kehilangan kebahagiaan. Dan cara untuk mengatasi rasa khawatir ini adalah dengan berpikir bagaimana jika hal tersebut tidak terjadi?

Hidup akan dapat menjadi buruk. Tidak direncanakan, hidup akan dapat menjadi buruk. Direncanakan, hidup juga sama, akan dapat menjadi buruk. Jadi buat apa kita khawatir akan masa depan? Justru di saat kita bahagia, kita memiliki energi dan pengetahuan untuk dapat menyelesaikan masalah yang ada.

Lalu bagaimana untuk menjadi bahagia? Ada tiga cara untuk menjadi bahagia menurut Ajahn Brahm:

1. Datang ke seminar Ajahn Brahm
Bukan sekadar mendengarkan ceramah Ajahn Brahm yang membuat kita bahagia, namun karena kita berkumpul dengan orang-orang yang bahagia. Dengan berkumpul dengan orang-orang yang bahagia, kita akan juga menjadi bahagia.

2. Jangan berpikir terlalu banyak
Ajahn Brahm ketika muda, pernah diminta oleh gurunya, Ajahn Chah untuk beramai-ramai memindahkan gundukan tanah di depan vihara ke belakang vihara. Dulu Ajahn Brahm hanyalah bhikkhu muda yang kurus dan kecil, dan sesuai dengan tradisi Buddhis yang dianutnya, Ajahn Brahm hanya mendapatkan makan satu kali dalam sehari. Namun sebagai murid yang baik, tentu saja Ajahn Brahm bekerja memindahkan gundukan tanah tersebut bersama dengan bhikkhu-bhikkhu ainnya. Itulah tiga hari yang melelahkan di tengah cuaca Thailand yang panas. Namun ketika Ajahn Brahm berpikir pekerjaannya sudah selesai, ia akan dapat mencuci jubahnya yang kotor dan bersantai esok harinya, Ajahn Chah pergi pada malam itu ke tempat yang lain.

Keesokan paginya, bhikkhu wakil kepala vihara di tempat Ajahn Brahm belajar, mengumpulkan semua bhikkhu dan berkata bahwa sepertinya gundukan tanahnya telah diletakkan di tempat yang salah. Jadilah para bhikkhu muda ini bekerja lagi selama tiga hari penuh memindahkan gundukan tanah tersebut. Keesokan harinya, ketika Ajahn Brahm berpikir bahwa ia dapat mencuci jubahnya yang sudah enam hari kotor dan dapat bersantai, Ajahn Chah pulang. Melihat gundukan tanah yang tidak pada tempat yang dimintanya di awal, Ajahn Chah pun marah dan meminta para bhikkhu muda itu untuk kembali memindahkannya ke tempat sebelumnya.

Di sinilah Ajahn Brahm sempat kehilangan keyakinannya. Ia pun mengumpat sambil bekerja. Namun tentu saja Ajahn Brahm mengumpat dalam bahasa Inggris supaya para bhikkhu muda yang lain tidak mengerti bahasa yang diucapkannya. Hahaha. Namun seorang bhikkhu melihat ekspresi muka Ajahn Brahm, datang mendekatinya. Ajahn Brahm tidak tahu siapa nama bhikkhu tersebut, namun ia berterima kasih atas apa yang diajarkan olehnya. Bhikkhu itu berkata, ”Melakukannya jauh lebih mudah daripada memikirkannya.” Dan itu menyadarkan Ajahn Brahm. Di sisa dua hari mengerjakan memindahkan gundukan tanah tersebut, dilakukan Ajahn Brahm dengan sangat mudah. Inilah mengapa kita tidak perlu berpikir terlalu banyak.

3. Tidak memenjara diri sendiri
Sebagai seorang bhikkhu di Australia, Ajahn Brahm sering diundang untuk memberikan pembabaran Dharma di penjara-penjara di Australia. Di penjara itu memiliki tempat tidur yang lebih nyaman dari tempat tinggal Ajahn Brahm di vihara. Di penjara juga memiliki tempat makan yang berbeda-beda untuk lauk, buah, dan sebagainya. Sementara Ajahn Brahm beberapa hari yang sebelumnya menerima dana es krim strawberry dan spaghetti dalam satu mangkuk. Dan itu rasanya menjijikkan. Hahaha. Di penjara juga ada televisi, tempat berolahraga dan sebagainya, sementara di vihara Ajahn Brahm tidak. Namun mengapa terdapat daftar tunggu yang panjang untuk masuk ke vihara Ajahn Brahm, sementara di penjara terdapat daftar tunggu yang sama panjangnya untuk keluar dari penjara? Keinginanlah yang menyebabkan hal itu terjadi. Segala kondisi atau tempat apa pun yang tidak kita inginkan, itulah yang disebut penjara. Namun apabila kita mengubah perilaku kita, dengan memiliki rasa puas terhadap diri sendiri dan memiliki penghargaan atas orang lain, inilah yang membuat kita merasakan kebahagiaan.

20160412 Resep Ajahn Brahm dan Master Guo Jun agar Bahagia Setiap Hari 2

Sementara itu Master Guo Jun memiliki tips yang berbeda untuk menjadi bahagia. Apa yang perlu kita lakukan? Ambil smartphone, pilih menu kamera, fotolah wajah Ajahn Brahm yang sedang tersenyum  apabila kita merasa bahagia melihat wajah Ajahn Brahm tersenyum. Lalu cetak foto tersebut dan letakkan di kamar mandi, di tempat makan, di kantor, dan juga di kamar tidur. Sehingga ketika kita bangun dari tidur ke kamar mandi, kita melihat foto Ajahn Brahm, dan kita menjadi bahagia. Ketika kita mau makan, bekerja di kantor, hingga akhirnya kita hendak tidur, kita melihat wajah Ajahn Brahm, dan merasa bahagia.

Selain itu, kita harus memiliki ‘santacitta’. Citta artinya adalah pikiran atau batin. Santa memiliki arti rasa puas. Oleh karenanya, ceramah yang menghadirkan Ajahn Brahm bersama dengan penerjemah dari Ehipassiko bernama Tasfan Santacitta yang didampingi moderator Handaka Vijjananda, memberikan dua kebahagiaan sekaligus kepada para hadirin yang datang. Demikian Master Guo Jun membuka sesi ceramahnya.

Hidup itu seperti sebuah film, memiliki cerita yang senang, sedih, dan sebagainya. Sementara kita adalah aktor atau pemain filmnya. Untuk menghadirkan film yang baik, dibutuhkan kemampuan berakting yang baik untuk menjadikan sebuah film merupakan film yang bagus.

Untuk memiliki kemampuan akting yang bagus, kita harus belajar untuk akting, atau ‘ACT’ dalam bahasa Inggris. ACT di sini merupakan singkatan dari:

A: Acceptance (penerimaan)
Hidup pasti mengalami perubahan. Oleh karenanya kita harus belajar untuk dapat menerima perubahan. Menerima perubahan bukan berarti tidak melakukan apa pun. Namun ketika kita mengalami kesulitan ataupun penderitaan, kita harus menerima kenyataan tersebut terlebih dahulu sebelum kita dapat melakukan sesuatu.

C: Contentment (rasa puas)
Seringkali kita ketika menghadapi kehidupan, memikirkan apa yang telah hilang, alih-alih apa yang kita masih miliki. Dengan memiliki rasa puas atau syukur, kita lebih sering berpikir atas apa yang masih kita miliki.

T: Transform (berubah)
Bagaimana cara kita berubah? Kembali ke awal tadi, lihat foto wajah Ajahn Brahm yang sedang tersenyum, kita pun menjadi tersenyum. Ada kisah dalam Zen di mana Buddha mengambil sekuntum bunga dan tersenyum. Pada saat kita tersenyum, kita membuka hati dan pikiran kita. Senyuman yang berasal dari dalam hati adalah senyuman Bodhisattva (calon Buddha). Dengan tersenyum, kita kembali  ke momen saat ini.

Di dalam pelatihan ini, kita perlu juga belajar apa yang disebut sebagai kesabaran. Di Indonesia terkenal sebuah merk mi instan. Kita memiliki budaya mi instan. Kita menginginkan segala sesuatu terjadi secara instan. Ini yang perlu kita hindari. Kita harus belajar untuk sabar dan juga tekun dalam pelatihan kita. Karena kebahagiaan adalah seni. Seperti seni lukis, kita tidak hanya butuh kanvas, kuas dan cat warna, namun kita juga butuh untuk melukiskan kanvas tersebut dengan kuas dan cat warna.

Begitu juga dengan kebahagiaan, kita mengetahui bahwa kita tidak boleh marah, kita belajar teorinya dengan baik. Namun mengetahui sesuatu adalah satu hal, melakukan apa yang diajarkan dalam teori adalah hal yang lainnya.

Bhikkhu Uttamo: Jadikan Kebahagiaan dalam Usaha Sebagai Gaya Hidup

$
0
0

“Tentunya kita sangat senang dengan usaha untuk menggapai sesuatu sampai kita menghabiskan energi kita untuk hal tersebut.”

Inilah beberapa kata pembuka dari Bhikkhu Uttamo dalam Dhammatalk “The Joy of Effort” yang diselenggarakan oleh KMB Dharmayana Universitas Tarumanagara pada Minggu (24/4) di The Palms Ballroom, Mall Taman Palem, Jakarta, sebagai salah satu rangkaian acara Dharmayana Buddhist Festival 2016. Dhammatalk ini sebenernya juga mengundang Arya Vandana, pendiri Buddhist Reborn sebagai pembicara dan Roby Oktober sebagai moderator. Namun sangat disayangkan, Arya Vandana tidak dapat hadir karena sedang sakit demam berdarah.

Bhante Uttamo memberi contoh, kita senang naik gunung tetapi yang kita suka hanya proses saat naik gunung dan setelah berada di atas, kita foto-foto dan langsung turun. Atau bisa juga melihat matahari terbit dari suatu ketinggian, saat jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi dan mulai panas, kita akan turun. “Kenapa tidak ditunggu sampai matahari terbenam?” celetuk Bhante yang disambut gelak tawa hadirin yang datang.

Menurut Bhante Uttamo, itulah “the joy of effort” (bahagia dalam berusaha), yang senangnya itu waktu usahanya saja.

Bhante juga menyebutkan bahwa pada dasarnya manusia itu mengalami kebosanan. Seperti di pekerjaan dan kehidupan rumah tangga. Di pekerjaan, saat seorang baru membuka toko baru, mereka sangat semangat dalam menjalaninya, setiap hari buka toko, besoknya buka toko, besoknya lagi buka toko. Tapi lama kelamaan, mereka bosan dengan rutinitas yang sama, akhirnya usahanya menurun karena kebosanan tersebut

Atau di kehidupan rumah tangga, bosan dengan pasangannya sendiri. Ingat pada saat Anda pertama kali berusaha untuk mendapatkannya di antara banyaknya saingan, membeli jam tangan dan sepeda motor yang bagus untuk mendapatkan hatinya, tetapi saat Anda sudah mendapatkannya, Anda bosan dengan pasangan.

Orang-orang mengatakan ini semangat gelembung sabun, yang pada saat di awal gelembung tersebut ditiup, gelembung akan membesar yang berarti semangatnya menggebu-gebu, tetapi lama kelamaan gelembung tersebut akan meletus, lemah dan hilang, seperti usaha yang juga semakin lama semakin menurun.

Orang-orang yang mengalami kebosanan ini harus dibangkitkan lagi semangatnya dengan cara mengingat tujuan awal kalian dalam berusaha mewujudkan sesuatu yang diinginkan.

Bhante melanjutkan, “Namun bagaimana kalau kita hanya kebetulan bertemu dengan pasangan yang tidak kita harapkan?” Jawabannya ada di dalam pola pikir masing-masing. Contohnya, Anda sudah berusaha mencari pasangan sesuai dengan tipe Anda, melamar ke sana ke sini, tetapi tidak ada yang mau dengan Anda. Namun ada satu orang yang mau dengan Anda padahal Anda tidak suka dengannya. Di sinilah Anda harus mengubah pola pikir Anda. Pasangan Anda dapat menerima Anda dan dia mau dengan Anda, inilah kelebihannya. Hal inilah yang dapat membangkitkan usaha Anda dalam menyukainya juga. Melihat sisi positif sebagai suatu motivasi Anda untuk berjuang dan berusaha.

Saat kita merasa diri kita sudah sangatlah cukup, cobalah mulai untuk berbagi. Bagikan the joy of effort itu untuk orang lain bukan hanya kepada diri sendiri.

Pakaianmu cukup, makananmu cukup, sisanya untuk anak-anak dan keluargamu. Kalau kita merasa diri kita sudah cukup, itulah saatnya berbagi. Kita akan sadar bahwa orang lain membutuhkan perhatian. Saat diri kita cukup untuk makan, kita bisa mempekerjakan orang lain agar mereka juga dapat makan. Dengan demikian, the joy of effort ini akan terus ada dan dijaga karena adanya motivasi untuk berbagi kepada orang lain. Effort kita akan menjadi bertanggungjawab kepada orang lain.

Menurut Bhante, the joy of effort ini adalah suatu gaya hidup, supaya kita punya itu maka kita harus ada yang menjadi motivasi, hal ini bisa dilakukan dengan cara:

  1. Suka, awalnya kita harus menyukai suatu hal yang kita kerjakan, ini akan membangkitkan semangat dan motivasi kita untuk melakukannya, sehingga usaha yang kita beri akan lebih maksimal.
  2. Kesenangan, berusaha menyenangi sesuatu dengan melihat nilai lebih dari suatu usaha. Seperti contoh pasangan di atas, ketika kita dapat melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang positif dan menjadikan hal tersebut kelebihan, kita akan termotivasi untuk berusaha menyenangi hal tersebut.
  3. Belajar meregenerasi apa yang sudah kita perjuangkan kepada generasi selanjutnya. Dalam hal ini untuk menjaga effort kita agar tetap ada, kita harus dapat berbagi kepada orang lain agar apa yang kita perjuangkan bukan hanya kepada diri sendiri, tetapi juga kepada orang lain.
  4. Mempertahankan semangat untuk berjuang. Tentunya agar sukses, kita harus terus maju, maju, dan maju agar apa yang kita inginkan dapat tercapai. Tidak hanya mengandalkan karma tetapi kita juga harus bergerak dan berusaha.

Ketika usaha kita mengalami masalah dan mungkin tidak dihargai, ada satu pepatah yang Bhante Uttamo suka yaitu, “Satu kesenangan dan kebahagiaan bagi saya ketika dapat melakukan sesuatu yang orang lain anggap saya tidak dapat melakukannya.” Tunjukkan bahwa kita mampu dan tidak pantas untuk direndahkan orang lain. Sebisa mungkin terus berusaha untuk tidak menjauhinya apalagi sampai hal tersebut mengganggu masa depan Anda.

*) Penulis adalah aktivis KMB Dharmayana

Pesan Waisak 2560 BE/2016 oleh Bhikkhu Sri Pannyavaro

$
0
0

Dharmasanti Waisak Umat Buddha 2560 BE/2016 digelar meriah di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Acara yang dihadiri puluhan ribu umat Buddha dari dalam negeri dan mancanegara ini dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, jajaran menteri kabinet kerja serta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. (Baca Wakil Presiden Jusuf Kalla Hadiri Dharmasanti Waisak di Candi Borobudur)

Bhikkhu Sri Pannyavaro dalam pesan Waisaknya, menyampaikan bahwa cinta kasih dan kasih sayang dapat menciptakan kehidupan bahagia. “Pada saat Pangeran Siddharta keluar istana, beliau melihat penderitaan. Penderitaan itu menggetarkan hatinya. Beliau tidak melihat dari kasta mana yang menderita, dari agama manakah yang menderita, hanya penderitaan-lah yang beliau lihat, dan penderitaan itu mengguncang hatinya. Pada saat seseorang bergetar hatinya, tidak tahan melihat penderitaan orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk menolong mereka, itulah sesungguhnya kasih sayang!

“Lazimnya, kita tidak tahan dengan penderitaan kita sendiri, tetapi amat jarang yang tidak tahan melihat penderitaan orang lain. Mereka yang tidak tahan melihat penderitaan orang lain itulah manusia mahasattva.

“Penderitaan yang dilihat Siddharta itu, kemudian mengubah seluruh kehidupan Siddharta. Ia meninggalkan kenikmatan dan kepentingan pribadi sebagai putra mahkota. Sengsara selama enam tahun di hutan Uruvela, hingga tercapainya pencerahan sempurna.

“Empat puluh lima tahun kemudian dengan cinta kasih yang sempurna, Guru Agung Buddha Gotama mengajarkan Dharma. Cinta kasih merupakan landasan moral Dharma yang Beliau ajarkan. Moral cinta kasih yang menumbuhkan kepedulian kita kepada semua yang menderita, yang menumbuhkan sikap kita untuk menerima perbedaan dan menghargai perbedaan, moral cinta kasih menuntun kita untuk mengendalikan kita dari perbuatan-perbuatan buruk.

“Karena perbuatan yang buruk akan merugikan orang lain, lingkungan, dan juga diri sendiri. Moral cinta kasih menuntun kita untuk bertanggung jawab, jujur, sungguh jujur untuk kepentingan orang lain dan diri sendiri. Moral cinta kasih itulah yang meredam kebencian dan amarah, moral cinta kasih juga meredam keakuan kita. Keakuan itulah yang membuat kita tidak malu untuk melakukan perbuatan yang buruk dan tidak takut akan akibatnya.

“Namun demikian, kebencian dan kemarahan tidak bisa dibendung, karena kita belum mencapai kesucian. Guru Agung Buddha Gotama menasihatkan, ‘Jangan karena marah dan benci mengharap yang lain celaka’,” jelas Bhante.

Menurut Bhante Pannya, untuk menumbuhkan moral cinta kasih harus dimulai dari keluarga. “Dimulai dari kehidupan keluarga, orangtua menjadi sumber moral dan keteladanan perilaku kita saat ini bagi para putra dan putrinya. Pendidikan formal umumnya memberi pengetahuan, tetapi ibu dan ayah yang bisa memberikan kehangatan hati cinta kasih kepada putra maupun putrinya. Kehangatan cinta kasih itulah yang melindungi anak-anak kita dari perilaku-perilaku kejahatan, tidak ada cara yang lain.

“Kami juga sangat mengharap para pemimpin kita, laksana orangtua bagi masyarakat, yang tidak tega melihat anak-anaknya yang menderita. Selalu memberi bimbingan tanpa pamrih terus-menerus pada putra putrinya agar mereka mandiri, luhur budinya, dan sejahtera.”

Lebih lanjut Bhante Pannya menyampaikan, “Seorang pujangga Buddhis besar, Mpu Tantular, menerjemahkan cinta kasih dengan ungkapan bersejarah, Bhinneka Tunggal Ika, dalam lontar Sutasoma. Antara lain Mpu Tantular menuliskan Shiva Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, yang artinya agama Shiwa dan Buddha memang berbeda tetapi tetap tunggal, karena hakikat kebenaran, Dharma itu adalah tunggal. Kebenaran hakiki tidak pernah mendua.

“Moral cinta kasih yang mengejawantah pada Bhinneka Tunggal Ika menjadi perekat kebersamaan di semua lini kehidupan bangsa. Keindahan dan kebersamaan itulah yang tercermin dalam kehidupan beragama, dan sudah tentu kehidupan bersama segenap umat Buddha.

“Amat berbeda-beda itulah bhinneka, kita tidak mungkin melebur yang bhinneka menjadi satu, tetapi kita menerima dan menghormati dengan ketulusan hati. Karena yang bhinneka itu hakikatnya paramata satya merupakan tunggal. Kemanusiaan adalah universal, hakikat kebenaran tidak pernah mendua, tan hana Dharma mangrwa, adalah keniscayaan alam. Khammata, bahwa dunia diwarnai dengan berbagai macam perbedaan, dan perbedaan itu sering saling menghancurkan.

“Oleh karena itu, pada saat purnama sempurna di bulan Mei, di bulan Waisak ini, dari Candi Agung Borobudur, kami ingin memberikan pesan moral Bhinneka Tunggal Ika kepada dunia. Kami yakin tidak hanya 600 tahun yang lalu moral Bhinneka Tunggal Ika dimulai oleh tulisan Mpu Tantular, melainkan jauh, ratusan tahun sebelum Mpu Tantular, moral Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi jati diri Nusantara, sifat dasar bangsa Indonesia hingga kini.”

Mengakhiri ceramahnya, Bhante Pannya mengajak masyarakat Indonesia untuk bekerja dengan sungguh-sungguh, “Mari bekerja keras untuk kita semua, tidak sekadar untuk mencapai kesejahteraan, tetapi juga untuk menjaga dan membangun bangsa ini, menjadi bangsa yang tangguh dan berbudi luhur. Appamadena Sampadetha, berjuanglah dengan penuh kesadaran. Tandhang gawe kanthi kawaspadan.”


Bhikkhu Sri Pannyavaro: Lindungilah Anak-anak dari Perbuatan Jahat dengan Cinta Kasih Orangtua

$
0
0

Bhikkhu Sri Pannyavaro merasa miris dengan terjadinya sejumlah kejahatan seksual hingga pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak. Anak-anak pelaku kejahatan tersebut mengenyam pendidikan di sekolah, tapi kenapa mereka tega melakukan tindakan tercela tersebut?

“Beberapa waktu yang lalu, banyak berita di koran dan di televisi, seorang anak sekolah dasar dan menengah memperkosa dan membunuh. Apakah itu tidak tindakan yang miris? Pendidikan formal hanyalah memberikan kepandaian, tetapi yang bisa melindungi anak-anak dari perbuatan jahat hanyalah orangtuanya dengan kehangatan moral cinta kasih,” jelas Bhante Pannyavaro dalam pesan Dhamma di perayaan Dharmasanti Waisak 2560 BE/2016 Umat Buddha Kabupaten Semarang di Desa Regunung, Kecamatan Tenggaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah pada Minggu (19/6).

“Oleh sebab itu, saya meminta bagi para orangtua, lindungilah anak-anak Anda dari perbuatan jahat, memperkosa, membunuh, dan lain-lain. Lindungilah mereka dengan moral cinta kasih,” tandas Bhante.

Bhante Sri Pannyavaro mengajak seluruh umat Buddha yang saat ini menjadi orangtua untuk melindungi anaknya dengan memberi kehangatan moral cinta kasih. “Setelah mencapai pencerahan sempurna di bulan Waisak, lebih dari 40 tahun kemudian, Guru Agung Buddha Gotama mengajarkan Dhamma yang dilandasi dengan cinta kasih dan welas asih,” ujar Bhante.

“Siddharta Gotama menderita di hutan Uruvela selama enam tahun sebenarnya adalah muncul dari welas asih, dari kasih sayang yang murni untuk membebaskan makhluk-makhluk dari penderitaan. Oleh sebab itu, welas asih dan kasih sayang merupakan salah satu landasan guru agung Buddha Gotama.

“Mustahil seseorang yang memiliki cinta kasih berbuat sesuatu yang merugikan orang lain, karena moral cinta kasih menuntut kita untuk jujur sungguh jujur. Moral cinta kasih itulah yang memungkinkan kita untuk berbuat tanpa pamrih. Memang suatu saat kita tidak bisa membendung kebencian dan amarah karena belum mencapai pencerahan, tetapi guru agung kita mengatakan, ‘Jangan karena marah dan benci lalu mengharap orang lain celaka’,” jelas Bhante.

20160621 Bhikkhu Sri Pannyavaro Lindungilah Anak-anak dari Perbuatan Jahat dengan Cinta Kasih Orangtua 2 20160621 Bhikkhu Sri Pannyavaro Lindungilah Anak-anak dari Perbuatan Jahat dengan Cinta Kasih Orangtua 3

Acara Dharmasanti Waisak yang dilaksanakan di halaman Sekolah Dasar Negeri Regunung 03 ini dihadiri ribuan umat Buddha dari Kabupaten Semarang dan Temanggung. Halaman SDN Regunung yang cukup luas tidak dapat menampung banyaknya umat yang hadir, sehingga banyak umat yang hadir harus duduk di ruang-ruang kelas, jalan, sampai halaman vihara yang letaknya tidak terlalu jauh dari sekolah.

Bukan hanya umat Buddha, walaupun dalam suasana bulan Ramadhan, acara ini juga dihadiri oleh tokoh lintas agama, bahkan sebagian besar umat Muslim ikut dalam membantu persiapan acara ini. “Inilah bukti nyata toleransi umat beragama di Desa Tenggaran,” ujar Jiyem, Ketua Panitia Dharmasanti Waisak.

Selain umat Buddha dan tokoh lintas agama, acara yang dimeriahkan oleh berbagai pentas seni anak Sekolah Minggu dan pemuda Buddhis dari berbagai daerah, acara ini juga dihadiri oleh puluhan bhikkhu, di antaranya Bhikkhu Sri Pannyavaro, Bhikkhu Ditthi Sampanno, Bhikkhu Dhammamito, Bhikkhu Khemadiro, Bhikkhu Atthapiyo, dan lain-lain.

Sementara itu, Ngesti Nugraha, Wakil Bupati Semarang yang turut hadir dalam acara tersebut berharap umat Buddha ikut andil dalam upaya pembangunan nasional, “Marilah para tokoh agama untuk selalu menyampaikan empat pilar kebangsaan kepada umatnya, terutama generasi muda. Makna Waisak yang tadi disampaikan oleh Bhante Pannyavaro mempunyai nilai penting untuk diamalkan, bukan hanya untuk umat Buddha saja, tetapi semua umat beragama, yaitu moral cinta kasih, kearifan, tanggung jawab, dan keikhlasan. Saya berharap para tokoh agama menjadi teladan dalam hal ini.”

Bhikkhu Sri Pannyavaro Mengajak Praktik Menyelesaikan Penderitaan. Bagaimana Caranya?

$
0
0

Perayaan Asadha Puja 2560 BE/2016 digelar meriah di Candi Borobudur. Tujuh puluhan anggota sangha dan puluhan ribu umat hadir dalam acara yang dilaksanakan pada hari Minggu (17/7). Bukan hanya itu, perayaan Asadha kali ini terasa istimewa karena sebelum perayaan Asadha, selama tiga hari penuh digelar Indonesia Tipitaka Chanting (ITC) di mana anggota sangha dan umat Buddha membaca ulang ajaran Buddha.

Bhikkhu Sri Pannyavaro dalam ceramah Dhamma mengungkapkan keharuannya melihat peristiwa ini, “Untuk pertama kalinya begitu banyak anggota sangha hadir bersama umat di Candi Agung Borobudur, apalagi sebelumnya selama tiga hari penuh, para bhikkhu bersama umat telah mengulang kitab suci Tipitaka. Kitab suci Tipitaka tidak hanya berisi ajaran agama saja, tetapi juga ilmu pengetahuan spiritual, yang tidak akan habis untuk kita pelajari. Sungguh peristiwa yang mengharukan.”

“Asadha adalah lahirnya Tiratana, lengkaplah Permata Buddha, Dhamma dan Sangha. Apa yang diajarkan, apa yang diberikan, apa yang dijelaskan oleh Guru Agung kita Buddha Gotama, yang diperoleh pada saat mencapai pencerahan sangat menarik.

“Yang pertama kali Beliau sentuh adalah persoalan penderitaan umat manusia. Persoalan yang menjadi persoalan semua manusia. Siapakah di antara manusia-manusia itu yang ingin menderita? Tidak ada. Semuanya emoh menderita, semua ingin bahagia. Justru itulah yang disentuh pertama kali oleh Guru Agung kita.”

Kemudian Bhante Pannyavaro bertanya, “Benarkah kita ingin membebaskan diri ini dari penderitaan? Sungguh-sungguhkah umat manusia ingin keluar dari penderitaan? Umumnya tidak. Kita manusia lebih senang menutup-nutupi penderitaan dengan mencari kesenangan. Karena menutupi penderitaan itulah, maka sangat sulit melihat penderitaan.”

Menurut Bhante Pannyavaro, nafsu keinginan adalah penyebab penderitaan. Oleh karena itu, untuk melenyapkan penderitaan, harus mengikis nafsu keinginan (tanha). “Guru Agung kita mengungkapkan tanha itulah sebab penderitaan. Nafsu keinginan itu selalu diikuti oleh kesenangan, dan kesenangan itu mencari kesenangan ke sana kemari. Dan apabila Saudara memenuhi itu, Anda merasa menghilangkan penderitaan, padahal Saudara hanya menutupi penderitaan.”

Bhante Pannyavaro mengutip Dhammapada, “(1) Anda melihat api yang membakar rumah, hutan, membunuh makhluk-makhluk, namun Guru Agung kita menjelaskan bahwa nafsu keinginan adalah api yang tidak bisa ditandingi. Betapa dahsyatnya api nafsu keinginan, tidak hanya membakar hutan-hutan dan rumah-rumah, tetapi membakar kita dari kehidupan ke kehidupan selanjutnya.

“(2) Kalau ada penerkam, binatang buas yang kejam, maka Guru Agung kita mengatakan bahwa kebencian adalah penerkam yang sangat dahsyat, tidak ada yang menandingi di dunia ini.

“(3) Ada jala yang halus sekali. Jaring yang halus sekali tidak tampak oleh mata kita, tetapi jaring ini sangat dahsyat, Saudara. Jaring itu akan menjaring kita, mencari kepuasan, mencari aktualisasi diri, kesombongan, memamerkan kesombongan. Itulah keakuan, itulah moha, jaring yang sangat kuat, tidak ada yang bisa menandingi jaring ini.

“(4) Dan akhirnya Guru Agung kita mengatakan, kalau Anda membaca banjir di mana-mana, menghancurkan, menghanyutkan tebing-tebing, menggelontorkan tebing-tebing, menghancurkan desa-desa, tetepai Guru Agung kita mengatakan bahwa tanha (nafsu keinginan) itu adalah arus banjir yang sangat dahsyat tidak ada tandingnya.

“Ibu, Bapak dan Saudara, apakah ini tidak mengerikan? Api itu, banjir itu, jaring itu, ada di dalam diri kita. Guru Agung kita tidak tanggung-tanggung mengatakan, tidak ada tandingnya itu banjir, tidak ada tandingnya itu jaring, tidak ada tandingnya itu penerkam, tidak ada tandingnya itu api. Pendeknya, tidak ada tandingnya semua itu.”

Namun menurut Bhante, kita tidak perlu khawatir, karena Buddha Gotama telah mengajarkan cara untuk menaklukkan sebab penderitaan. “Tetapi Guru Agung kita mengatakan jangan berkecil hati, seperti itulah, yang dahsyat itu bisa diatasi dengan Jalan Arya Berunsur Delapan. Itulah satu-satunya jalan.”

Kemudian Bhante memberikan perumpamaan, “Dalam Magandia Sutta, Majjhima Nikaya, Buddha Gotama memberikan perumpamaan yang sangat menarik. Kalau Saudara sakit luka, dengan kalimat yang lebih jelas, kalau Saudara sakit korengan dan tidak sembuh-sembuh, malam hari merasa gatal kemudian Anda menyalakan api dan menggoreng-goreng koreng tersebut di malam hari, kemudian koreng itu digaruk-garuk, alangkah nikmatnya. Tetapi Guru Agung kita mengatakan, ‘Ingat, koreng itu akan melebar, infeksi, kemudian Anda harus diamputasi dan selesailah hidup Anda sekarang.’

“Seperti itulah Anda menutupi penderitaan, kebencian, ketidaksenangan dengan mencari kesenangan seperti menggaruk-garuk koreng di malam hari. Ingat, Ibu, Bapak dan Saudara, sungguh bagus perumpamaan ini, begitu tajam, mengerikan, tetapi ingat pada saat Anda mencari kesenangan, jangan sampai menggaruk-garuk koreng. Enak tetapi membahayakan.

“Kemudian seorang dokter datang, ‘Berhenti, jangan dipanggang lagi. Jangan digaruk-garuk lagi, dan diberi betadin’. Memang pada awalnya terasa perih, tetapi akan menyembuhkan. Dokter itu adalah Guru Agung kita Buddha Gotama,” tutur Bhante.

Nafsu keinginan, apabila dituruti dengan mencari kesenangan, tidak akan ada habisnya. Seperti menggaruk koreng di malam hari, yang awalnya nikmat tetapi pada akhirnya akan melebar, membusuk, dan harus diamputasi.

“Berhenti menggaruk, mengendalikan diri dengan sila, berhenti menghujat orang lain, berhenti mencelakai orang lain, berhenti membunuh orang lain, berhenti menjelekkan orang lain, berhenti menghancurkan lingkungan kita sendiri, berhentilah hawa nafsu di dalam diri sendiri.

“Tetapi, Bhante, bukankah kita ingin maju, kita ingin keluarga kita maju saat dunia ini maju? Benar, Saudara. Tetapi majulah dengan kearifan, majulah dengan sati sampajana, majulah dengan wisdom, majulah dengan pertimbangan dengan benar. Dunia kita sekarang, seolah-olah mendorong kita untuk maju, maju, dan maju terus. Hati-hati, Saudara. Kalau tanpa pengetahuan, tanpa kesadaran yang jeli, kemajuan itu seperti api yang membakar kita, seperti arus yang menghanyutkan kita, keserakahan, hawa nafsu. Hentikan itu.

“Bagaimana caranya? Bermeditasilah, asahlah kesadaran, awareness, sati, kesadaran, itulah yang akan membuat hawa nafsu berhenti. Kesadaran itulah yang akan membuat tanha berhenti. Memang saat ini Anda belum bisa menghentikan hawa nafsu, tetapi Saudara mengerti cara untuk menghentikannya.

“Meskipun belum sampai habis, kalau tanha itu berkurang, kekotoran batin itu berkurang, berkurang dan berkurang, hidup Saudara akan bahagia. Marilah kita berjuang, kendalikan diri, maju dengan bijak, dan tahu cara untuk menghentikan sebab penderitaan. Ajaran Guru Agung kita bukan hanya agama, tetapi ajaran pengetahuan spiritual, mencerahkan, memperkaya mental kita. Marilah kita praktik untuk menyelesaikan penderitaan,” ajak Bhante mengakhiri pesan Dhammanya.

Indonesia Sudah 71 Tahun Merdeka, Tapi Sudahkah Kita Merdeka?

$
0
0

Rabu (17/8), saat sebagian besar masyarakat Indonesia merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia dengan berbagai karnaval, perlombaan dan lain-lain, umat Buddha Vihara Buddhagaya, Watugong, Semarang merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-71 sambil merayakan Asadha. Puja bakti peringatan pertama kalinya Buddha Gotama membabarkan Dhamma kepada lima orang pertapa digelar di Dhammasala vihara tertua di Semarang ini dihadiri oleh ratusan umat Buddha dari Semarang dan Temanggung.

Padesanayaka Sangha Theravada Indonesia (STI) Jawa Tengah Bhikkhu Cattamano dalam ceramah Dhammanya menyampaikan betapa beruntungnya umat Buddha Indonesia saat ini yang telah menikmati kemerdekaan. “Berkat jasa perjuangan para pahlawan, pendahulu kita, saat ini negara kita sudah merdeka dari penjajah,” ujar Bhikkhu Cattamano.

Namun menurut Bhante, meskipun saat ini kita sudah merdeka, sudah bebas dari penjajahan bangsa-bangsa lain, tetapi manusia masih dijajah oleh penjajah yang ada dalam diri sendiri. “Seperti yang dikatakan oleh Buddha Gotama, dalam diri kita masih dijajah oleh penjajah yang tidak tampak, yaitu keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Penjajah inilah yang menyebabkan manusia menderita,” jelas Bhante.

Oleh sebab itu, lanjut Bhante, umat Buddha harus tetap berjuang untuk terbebas dari penjajah yang tidak tampak, dengan menjalankan ajaran Buddha untuk mengikis penderitaan, karena pada hakikatnya kehidupan ini adalah penderitaan.

“Buddha juga mengajarkan kepada kita cara terlepas dari penderitaan supaya benar-benar merdeka dan tidak dicengkeram lagi oleh kesedihan, ketakutan, kekhawatiran, ratap tangis, dan lain-lain. Oleh karenanya, seperti yang dipesankan Buddha, kita harus berjuang dengan sungguh-sungguh untuk merdeka membebaskan diri dari penderitaan,” jelas Bhante.

Bhante menambahkan, umat Buddha harus bersungguh-sungguh berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. “Buddha adalah orang yang telah mampu membersihkan kekotoran batin yang menyebabkan penderitaan. Dhamma yang Beliau ajarkan adalah hasil dari perjuangan Beliau, dan Sangha adalah manusia-manusia yang telah berjuang untuk sembuh dari penderitaan.”

Mengakhiri ceramahnya, Bhante Cattamano mengucapkan selamat merayakan Kemerdekaan Republik Indonesia. “Dirgahayu ke-71 Indonesia dan selamat merayakan Asadha,” Bhante mengakhiri.

Enam Pertanyaan Mendasar tentang Agama Buddha

$
0
0

Anda baru mengenal agama Buddha? Atau mungkin Anda punya teman atau anggota keluarga yang tertarik pada agama Buddha? Mungkin ada banyak pertanyaan, dan di sini Anda akan menemukan jawaban yang semoga bisa membantu. Berikut ulasan singkatnya!

1. Apa ciri keyakinan dalam agama Buddha?
Agama Buddha memiliki banyak konsep keyakinan dan praktik, tetapi ada beberapa prinsip bersama; ini adalah penemuan mendasar yang dibuat oleh Guru Agung Buddha.

Thich Nhat Hanh menggambarkannya dengan cara ini: ketidakkekalan, (semuanya selalu berubah), tidak ada diri (tidak memiliki inti jiwa), dan nirwana (kedamaian adalah pembebasan dari segala tentang konsep).

2. Apakah agama Buddha itu religius?
Cendekiawan Charles Prebish menjawab, “Ya!”
Guru Dzogchen Ponlop Rinpoche menjawab, “Tidak!”
Guru Zen Joan Sutherland menjawab, “Keduanya.”

Semua jawaban tergantung kepada siapa Anda bertanya, dan itu tergantung pada definisi Anda tentang “agama,” juga. Sebagai contoh, kita sudah meminta tiga pendapat pemikiran kepada seorang Buddhis yang terkemuka mengenai pertanyaan yang sama, dan mereka memiliki tiga tanggapan yang berbeda.

Jawaban yang paling penting, tentu saja, adalah Anda sendiri. Dan karena itu Anda mungkin mencari penghiburan dalam kenyataan bahwa apa pun pandangan Anda −agama, psikologi, cara hidup− jika itu bekerja untuk Anda, Anda benar.

3. Jika saya tidak religius, apakah itu baik-baik saja?
Benar. Banyak orang −khususnya mereka yang menganggap dirinya “spiritual tetapi tidak ingin dikaitkan dengan institusi yang bernama agama”− telah menemukan bahwa pemikiran Buddhis dan meningkatkan praktik dapat bekerja dengan baik dalam kehidupan mereka.

4. Apakah ada jiwa yang kekal di dalam agama Buddha dan reinkarnasi?
Narayan Helen Liebenson menjelaskan, “Anatta (tiada diri) adalah inti ajaran Buddha, seperti kelahiran kembali.” Bagaimana kita menempatkan ajaran-ajaran yang tampaknya bertentangan itu? Guru Agung Buddha mengajarkan bahwa pembebasan dari samsara yakni putaran berulang kelahiran dan kematian adalah mungkin melalui pemahaman tiada diri.

Semua ajaran membimbing kita menuju berakhirnya penderitaan; Buddha tampaknya lebih tertarik dalam membantu makhluk hidup menemukan jalan keluar dari penderitaan.

5. Apa itu Dharma?
Reginald Ray menulis, di antara tiga permata dari Buddha, Dharma dan Sangha, di mana semua umat Buddha berlindung, Dharma adalah unggulan. Di satu sisi, Ray menjelaskan itu adalah “yang mendasari, substratum realitas −kehidupan kita dan dunia kita.”

Dalam arti kedua, Dharma adalah fenomena, yakni “apa yang terjadi dalam hidup kita, apakah kita suka atau tidak, apakah kita berharap untuk itu atau tidak, apakah kita berharap atau tidak.” Dalam pengertian ketiga dan keempat, Dharma dianggap sebagai jalan Buddha itu sendiri, dan yang paling penting, ajaran Buddha yang membawa kita sepanjang jalan.

6. Bagaimana jika saya tidak punya guru atau komunitas untuk belajar?
“Bagi penekun spiritual,” tulis Judy Lief, “tidak ada peta yang jelas. Bahan belajar sangat banyak, sehingga dapat mencari tahu di mana saja untuk memulai. Jadi yang terbaik untuk mulai dari awal −dengan diri sendiri.” (www.lionsroar.com)

Begini Beda Konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha dengan Agama Lain

$
0
0

Apakah agama Buddha mempunyai Tuhan? Pertanyaan ini sering muncul dalam dialog-dialog agama Buddha maupun dialog lintas agama. Umat Buddha sendiri, terutama generasi muda, masih ragu bahkan mungkin tidak bisa menjawab ketika ditanya mengenai Tuhan dalam agama Buddha.

“Dalam agama Buddha, Tuhan bukan personal atau pribadi yang menciptakan segala sesuatu, tetapi impersonal (Impersonal God). Jadi, Ketuhanan dalam agama Buddha adalah penjabaran dari Impersonal God,” jelas Bhikkhu Atthapiyo di depan lebih dari 100 pemuda Buddhis di Vihara Maghadhamma, Salatiga, Jawa Tengah pada Minggu (14/8) lalu.

Ada perbedaan yang cukup mendasar mengenai Personal God dengan Impersonal God. Personal God mempunyai ciri: (1) Tuhan memiliki pribadi, (2) Berbeda secara diametral dengan alam semesta (mempunyai jarak), dan (3) Memerintah dan mengatur keberadaan ciptaan-Nya.

Ciri ini jauh berbeda dengan Impersonal God: (1) Menolak konsep Tuhan yang bersifat pribadi, (2) Tuhan sebagai entitas yang dekat dan tak terpisahkan dari manusia, (3) Tatanan berasal dari dalam dunia sendiri, bukan aturan yang dipaksakan dari luar, (4) Realitas tertinggi yang dapat dijangkau, dan (5) Konsep impersonal terdapat dalam pandangan Ketuhanan agama Timur.

“Dalam literatur Buddhis, Buddha Gotama menjelaskan bahwa, ‘Ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta dan tidak terkondisi. Inilah yang disebut Nibbana atau Nirwana. Jadi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha adalah penjabaran dari konsep impersonal.

“Nibbana atau Nirwana adalah realitas tertinggi yang dapat dijangkau manusia. Nibbana dapat kita jangkau saat kehidupan ini juga. Tuhan sebagai identitas yang tidak terpisah dan dapat dijangkau oleh manusia sebagai pengalaman peribadi,” jelas Bhante.

Mengenai pandangan Personal God dan Impersonal God ini sendiri, Bhante Atthapiyo mempunyai pengalaman yang menarik dalam proses pencarian spiritualnya. Bhante mengatakan, bagi orang yang hanya menerima tanpa menyelidik dan mempertanyakan tentang realitas tertinggi, hidupnya aman-aman saja. Tetapi, bagi Bhante Atthapiyo yang selalu mempunyai banyak pertanyaan selalu ada kegelisahan. Kegelisahan inilah kemudian yang mempertemukan bhikkhu asal Flores, Nusa Tenggara Timur ini dengan ajaran Buddha.

“Awalnya saya merasa ada perbedaan yang sangat tajam. Saya dari kecil didoktrin ada sosok Maha Tinggi yang mengawasi segala aktivitas saya. Jadi, setiap hari saya mengalami ketakutan. Dari ketakutan itu kemudian timbul protes dalam diri saya. Nah artinya, kalau benar-benar mempertanyakan tentang realitas tertinggi, akan mengalami guncangan secara psikologis. Dan menurut survei, itu tidak hanya terjadi pada diri saya saja.

“Tapi,” lanjut Bhante, “kalau yang tidak menanyakan itu, mereka hanya sekadar menerima dan percaya saja, ya hidupnya bahagia-bahagia saja. Tetapi kalau dia tidak nyaman dengan itu, maka akan terjadi guncangan. Saya sendiri hampir dibilang stres ketika di sekolah selalu berdebat dengan guru saya mengenai Tuhan ini.”

Oleh sebab itu, menurut Bhante Atthapiyo, ada perbedaan konsep berpikir antara orang yang mempercayai Personal God dengan cara pandang Buddhisme walaupun dalam melakukan beberapa tindakan muaranya sama, yaitu untuk tidak melakukan perbuatan jahat.

“Kalau yang mempercayai Personal God, dia tidak melakukan perbuatan jahat karena takut ada yang mengawasi. Sedangkan dalam Buddhisme, dia tidak melakukan perbuatan jahat karena malu dan takut akan akibat dari perbuatan jahat itu.”

Kalau Buddhisme tidak mengenal Personal God, lalu ketika sembayang atau puja bakti, umat Buddha menyembah siapa? Apakah umat Buddha menyembah berhala?

Bhante Atthapiyo menjelaskan, ketika umat Buddha melakukan puja bakti tidak meminta-minta. “Sembahyang di hadapan patung Buddha tidak meminta-minta, tetapi mengingat dan merenungkan sifat-sifat luhur Buddha Gotama untuk diteladani. Merenungkan sifat-sifar luhur itu bukan penyembahan. Buddha Gotama mempunyai cinta kasih yang tanpa batas. Salah satu contohnya ketika Beliau menaklukkan gajah Nalagiri yang mengamuk dengan cinta kasihnya,” jelas Bhante.

Meskipun telah menjadi bhikkhu, Bhante Atthapiyo masih menghormati agama leluhurnya. Ada seseorang yang bertanya kepadanya karena di akun Facebook, Bhante Atthapiyo menghormat patung Bunda Maria.

“Saya sendiri mengenal Buddhisme melalui proses pergolakan batin yang luar biasa. Ketika saya meditasi satu bulan, yang muncul dalam pikiran saya adalah ayat-ayat Injil. Namun justru pemahaman terhadap Buddhisme itu yang membuat saya bisa memahami ayat-ayat Injil. Salah satu ayat yang saya ingat adalah ‘Sungguh sulit seekor onta memasuki lubang jarum, tetapi lebih sulit orang kaya masuk surga’. Dari dulu saya tidak bisa memahami ayat ini, tetapi setelah saya belajar Buddhisme, saya jadi paham bahwa orang yang bisa masuk surga adalah orang yang telah bebas dari nafsu keserakahan.

“Dalam perjalanan, saya mengalami fase-fase. Di awal meyakini Buddhis, saya menjadi Buddhis yang militan. Kemudian fase itu terlewati ketika saya belajar Buddhisme yang saya padukan dengan pengalaman sendiri. Mengenai foto menghormat Bunda Maria, beliau merupakan orang yang mempunyai kualitas batin, dan saya hanyalah manusia yang sedang belajar memperbaiki kualitas batin. Yang saya hormati adalah kualitas batinnya, bukan sosoknya,” jelasnya.

Untuk meningkatkan keyakinan terhadap Buddha Dhamma, menurut Bhante, bisa dilakukan dengan proses belajar. “Untuk meningkatkan keyakinan terhadap agama Buddha, satu-satunya cara ya dengan belajar dan praktik Dhamma. Belajar Dhamma bisa dilakukan di mana saja,” tutup Bhante.

Tips Bhikkhu Jayamedho Agar Bahagia di Usia Senja

$
0
0

Usia senja adalah masa paling menakutkan karena menjelang gelap malam, menjelang akhir hidup. Tubuh sakit-sakitan, pikun, hingga terpinggirkan dari lingkungan sosial adalah sejumlah ‘bayangan’ yang selalu setia mengikuti usia senja.

Sebagai orang yang juga sudah memasuki usia lanjut, Bhikkhu Jayamedho mempunyai sejumlah tips agar bisa tetap hidup bahagia di usia senja. Di usianya yang kini menyentuh 75 tahun, Bhikkhu Jayamedho masih aktif terbang ke berbagai kota dalam dan luar negeri untuk menyebarkan Dhamma.

“Saya ini bhikkhu TOP. Tua-Ompong-Peot,” kelakar Bhikkhu Jayamedho dalam sebuah Dharma talk di Restoran Queen Palace, Jakarta pada Minggu (25/9). Dharma talk tersebut digelar oleh Vihara Guna Dharma pimpinan Bhiksuni Guna Sasana.

Bhante Jayamedho menganjurkan agar para kaum lanjut usia rajin mengonsumsi dua macam JAMU. Jamu apakah itu?

Pertama, JAMU (jaga mulut) dalam makanan. Ini berkaitan dengan apa yang masuk ke dalam tubuh kita. Agar kesehatan tetap terjaga harus mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi, hindari gorengan atau makanan yang mengandung minyak lainnya.

“Biasanya makanan yang paling sederhana adalah yang paling menyehatkan, sebaliknya makanan yang paling enak adalah makanan yang paling tidak sehat,” jelas Bhante. Selain makanan, Bhante Jayamedho sendiri juga mengonsumsi berbagai macam suplemen. Dalam sehari, ia bisa menghabiskan sampai lima macam suplemen.

Kedua, JAMU (jaga mulut) dalam ucapan. Ini berkaitan dengan apa yang keluar dari tubuh kita. Bhante Jayamedho menyentil kebiasaan orang-orang tua yang selalu merasa paling benar dan menganggap anak-anaknya walaupun sudah berumur dewasa sekalipun, tetap dianggap seperti anak kecil.

“Dialog paling bagus bagi orang tua adalah: kuping dua, mulut satu. Perhatikan baik-baik kalau ada orang lain bicara. Jangan dibiasakan untuk selalu menimpali,” pesan Bhante.

Ia juga menyarankan orang tua jangan terbiasa bicara dengan sesama orang tua, karena akan tidak nyambung. Masing-masing hanya akan bercerita tentang anak atau cucu masing-masing tanpa mau mendengarkan cerita lawan bicaranya. Bhante menyarankan agar orang tua lebih banyak berbicara dengan orang muda agar saling melengkapi.

Tentang ucapan, Bhante menyoroti maraknya penggunaan gadget saat ini membuat banyak orang jadi lebih gampang mengabaikan sila keempat Pancasila Buddhis, yaitu menjaga diri dari mengucapkan kata-kata yang tidak benar. Mudahnya ‘berucap’ yang hanya tinggal klik terutama melalui pesan instan atau social media menyebabkan banyak orang yang begitu mudahnya mem-broadcast informasi hoax, menakut-nakuti, atau fitnah tanpa disaring terlebih dahulu kebenarannya. Menurutnya, informasi tersebut memang bukan keluar melalui mulut kita, tapi informasi keluar dari kita.

“Suhu mengajarkan bangun tidur memilin mala (tasbih), tapi sekarang bangun tidur memilin (scroll) layar HP,” sentil Bhante.

Bhante menyebut ada 4 sehat yang harus dimiliki orang usia lanjut, yaitu: (1) sehat fisik, (2) sehat mental, (3) sehat sosial, dan (4) sehat spiritual. Sehat fisik diupayakan dengan makanan yang bergizi, minum suplemen, dan olahraga ringan. Sehat fisik diupayakan dengan cara selalu mengasah kemampuan berpikir, salah satunya dengan mengisi TTS. Sehat sosial diupayakan dengan cara banyak bergaul. Dan sehat spiritual diupayakan dengan belajar dan mempraktikkan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.

Bhante Jayamedho mengibaratkan Dhamma seperti aplikasi navigasi GPS. “Buddha adalah pembuat aplikasi GPS, Dhamma adalah aplikasi GPS, dan Sangha adalah orang yang telah menjalankan apikasi GPS dengan benar dan telah sampai tujuan,” Bhante memberi perumpamaan.

Jika seseorang semakin menyeleweng dari GPS (Dhamma) maka ia akan makin tersesat. Namun jika menjalankan Dhamma, hidup akan penuh dengan senyum dan membawa terang pada saat menuju malam (meninggal dunia).

Penjelasan Mingyur Rinpoche Ini Membuktikan Bahwa Meditasi Itu Santai dan Menyenangkan

$
0
0

Bagi Anda yang selama ini punya seribu alasan untuk tidak bermeditasi, setelah menyimak apa yang disampaikan oleh Yongey Mingyur Rinpoche dalam workshop “Awareness and Compassion”, mungkin akan sebaliknya menjadi punya seribu alasan untuk bermeditasi.

Dalam workshop yang diadakan oeh Tergar Meditation Center di Grand Auditorium Universitas Bunda Mulia, Jakarta selama dua hari, 14-15 Oktober 2016 tersebut, Mingyur Rinpoche menjelaskan tentang bermacam-macam teknik meditasi. Menariknya, teknik-teknik meditasi yang dijelaskan menggunakan obyek-obyek yang selama ini justru kita anggap sebagai rintangan, atau biasa disebut sebagai nivarana. Teknik-teknik meditasi yang diajarkan Mingyur Rinpoche juga berhasil membuktikan bahwa meditasi bukanlah sebuah aktvitas yang susah dan berat, melainkan santai dan menyenangkan.

Rinpoche memulai uraiannya dengan menanyakan apakah arti kesadaran (awareness) kepada para peserta workshop. Lalu Rinpoche bertanya, siapa yang sudah tahu artinya? Sejumlah peserta mengangkat tangannya. Rinpoche bertanya kembali, siapa yang belum tahu artinya? Peserta yang selebihnya gantian angkat tangan.

“Yang sudah tahu arti kesadaran, dan sadar bahwa dirinya tahu, itulah kesadaran. Yang belum tahu arti kesadaran, dan sadar bahwa dirinya belum tahu, itu juga kesadaran,” ujar Rinpoche yang membuat para peserta menjadi penasaran.

Lalu Rinpoche mengajak peserta untuk bermeditasi relaksasi. Usai meditasi, Rinpoche kembali bertanya, siapa yang bisa rileks? Sebagian peserta mengangkat tangan. Rinpoche bertanya kembali, siapa yang tidak bisa rileks? Peserta yang selebihnya gantian angkat tangan.

“Yang bisa rileks, dan sadar bahwa dirinya rileks, itulah meditasi. Yang tidak bisa rileks, tapi sadar bahwa dirinya tidak rileks, itu juga meditasi,” ujar Rinpoche.

Lalu Rinpoche membuat sebuah analogi tentang sungai, “Saat kita berada di luar sungai, kita mengamati sungai.” Begitulah meditasi. Mengamati.

“Esensi meditasi adalah kesadaran, dan kesadaran selalu bersama kita 24 jam. Ketika kita sadar bahwa kita tahu tentang arti kesadaran, itu adalah kesadaran. Ketika kita sadar bahwa kita tidak tahu arti kesadaran, itu adalah kesadaran.

“Kesadaran selalu ada bersama kita, bahkan saat kita tidur atau sedang tidak sadar. Tapi kita tidak meditasi selama 24 jam. Kita memiliki kesadaran tapi belum tentu mengetahui kesadaran.

“Meditasi adalah mengenali kesadaran kita, dan kemudian menjaga agar kita selalu mengenalinya,” Rinpoche menekankan.

Menariknya, Rinpoche menjelaskan bahwa kita bisa bermeditasi kapan pun, di mana pun, dan dalam situasi apa pun. Apabila kita bisa melakukan itu, berarti kita pun bisa bahagia kapan pun, di mana pun, dan dalam situasi apa pun. Karena pada saat meditasi, pikiran kita menjadi lentur, jernih dan damai sehingga kita bahagia. Itulah rahasianya kenapa Mingyur Rinpoche dikatakan sebagai orang yang paling bahagia di dunia, karena setiap saat selalu dalam kondisi meditasi dan bahagia.

Agar kita bisa menjaga supaya kita selalu mengenali kesadaran, kita perlu pendukung meditasi. Dan ternyata segala hal yang ada di sekitar kita dan yang sedang kita rasakan bisa menjadi pendukung meditasi, termasuk rintangan-rintangan (nivarana) yang selama ini kita anggap sebagai penghambat meditasi. Bagaimana caranya?

Rinpoche mengajak peserta workshop bermeditasi menggunakan objek berupa kontak oleh panca indera: (1) Apa yang kita lihat, (2) Apa yang kita dengar, (3) Apa yang kita cium, (4) Apa yang kita cecap, dan (5) Apa yang dirasakan oleh tubuh.

Pertama, meditasi pendengaran. Rinpoche mengajak peserta untuk duduk dan menegakkan posisi tubuh, kemudian memejamkan mata. Peserta diminta membuat dirinya rileks tanpa menggunakan objek apa pun. Peserta diminta menjulurkan tangannya ke depan, lalu Rinpoche membunyikan gong. Awalnya bunyinya pelan, lama-lama mengeras. Jika bunyi gong mengeras, tangan digerakkan ke atas. Dan sebaliknya jika bunyi gong mengecil, tangan digerakkan ke bawah.

“Kita telah menyelesaikan meditasi pendengaran,” ujar Rinpoche. Rinpoche menjelaskan, suara apa pun dan kapan pun bukannya mengganggu meditasi, tetapi justru bisa menjadi objek meditasi.

Kedua, meditasi penglihatan. Rinpoche mengeluarkan setangkai bunga mawar, kemudian mengajak semua peserta untuk duduk dan menegakkan posisi tubuh dan pejamkan mata. Setelah rileks, peserta diminta membuka mata untuk kemudian mengamati bunga mawar.

“Mungkin mata melihat bunga, tapi pikiran kita memikirkan gado-gado,” celetuk Rinpoche.

Menurutnya, yang disebut meditasi adalah saat mata dan pikiran kita secara bersama-sama tahu bahwa itu bunga. Kita bisa melakukannya, tapi biasanya tidak bertahan lama, hanya bisa beberapa detik, kemudian pikiran melantur ke mana-mana.

Ketiga dan keempat adalah meditasi penciuman dan meditasi mencecap rasa. Rinpoche mengambil sebotol minuman, kemudian mencium aromanya. “Napas masuk, cium aromanya. Napas keluar, lepas. Baru kemudian diminum, cecap rasanya.

Kelima adalah meditasi merasakan sensasi tubuh. Teknik ini dilakukan dengan melakukan scanning terhadap anggota tubuh dan sensasi rasa yang timbul, kemudian mengamati.

20161017-penjelasan-mingyur-rinpoche-ini-membuktikan-bahwa-meditasi-itu-santai-dan-menyenangkan-2

Esensi Semua Teknik Meditasi: Menyadari
“Banyak teknik meditasi yang diajarkan, tapi sebenarnya hanya ada satu teknik: kesadaran,” Rinpoche menyimpulkan. Jangan menolak apa pun, tapi jadikanlah sebagai pendukung meditasi dengan menerima dan menyadarinya.

“Gagasan utamanya adalah segala sesuatu bisa menjadi pendukung meditasi, kita bisa sadar di mana pun dan kapan pun. Kita bisa meditasi di mana pun dan kapan pun, berarti kita bisa bahagia di mana pun dan kapan pun,” lanjut Rinpoche.

Selain kelima teknik meditasi tersebut, ada tiga teknik meditasi lagi, yaitu (1) Meditasi samatha tanpa objek, (2) Meditasi pikiran, dan (3) Meditasi emosi.

Meditasi samatha tanpa objek atau kesadaran terbuka dilakukan dengan duduk tegak dan memejamkan mata, kemudian tubuh dibikin rileks. Objek yang digunakan adalah tanpa objek, yaitu membiarkan pikiran mengembara ke mana saja, kita tinggal mengamati.

Meditasi pikiran biasanya berkaitan dengan sensasi yang berhubungan dengan tubuh, suara, dan perasaan. Biarkan pikiran datang, jangan dikekang, cukup perhatikan saja. Untuk meditasi pikiran, kita memerlukan pikiran sebagai objek. Tapi, menurut Rinpoche, “Saat mengamati pikiran, pikiran malah hilang. Biasanya banyak pikiran, tapi sekarang malah hilang.” Meditasi ini pada awalnya memang susah, tapi lama-lama akan mudah.

Jika pikiran muncul, Rinpoche menyebutnya seperti menonton televisi 360 derajat 3 dimensi. “Saya menyebutnya inner television. Gratis dan bisa dibawa ke mana-mana, sayangnya programnya jadul dan berulang-ulang yang membosankan. Tapi dengan menonton program yang membosankan ini akan membuat batin kita lebih damai, tenang, dan lentur,” jelas Rinpoche.

Sedangkan meditasi emosi dilakukan dengan mengamati emosi yang muncul akibat sensasi yang terjadi pada tubuh, misalnya rasa sakit, panik, patah hati, senang, malas, dan lain-lain. Tentang sensasi, Rinpoche memberi contoh kecanduan narkoba. Yang menyebabkan orang kecanduan bukanlah narkobanya, melainkan sensasinya.

Dalam meditasi emosi ini, ada empat langkah, yaitu: (1) Amati emosi yang timbul akibat munculnya sensasi dalam tubuh, (2) Jika emosi yang timbul terlalu kuat, coba objek lain atau ciptakan emosi lain sebagai pengganti, (3) Jika emosi makin membesar, mundur satu langkah dan amati apa yang membuat emosi menjadi besar (biasanya karena munculnya kebencian/penolakan), dan (4) Jika merasa lelah, istirahatlah.

Meditasi ini memang tidak mudah. Rinpoche berhasil melakukan teknik meditasi ini untuk menghilangkan trauma panik yang dialaminya ketika masih anak-anak. “Jika bisa lakukan ini semua, emosi negatif akan bisa ditransformasikan (menjadi positif). Bahkan ilmuwan tidak tahu kenapa,” jelas Rinpoche.

Mingyur Rinpoche juga mengajarkan meditasi tidur. Ya, meditasi tidur! Caranya adalah dengan mengamati rasa kantuk sampai akhirnya tertidur. Jika tidak mengantuk, gunakan meditasi tanpa objek sampai akhirnya tertidur. Tanda-tanda apakah kita berhasil melakukan meditasi tidur atau hanya tidur biasa ada dua, yaitu: (1) Tidak ada mimpi, dan (2) Terbangun dalam kondisi segar.

Jika kesemua teknik meditasi tersebut masih tidak cocok juga, Rinpoche mengajarkan satu teknik meditasi lagi, yaitu meditasi melupakan kesadaran. Meditasi ini adalah kebalikan dari semua teknik meditasi yang disebutkan sebelumnya. Jika meditasi biasanya menekankan kita untuk sadar, teknik meditasi ini justru sebaliknya, membiarkan kita untuk tidak sadar. Caranya adalah dengan mendorong pikiran kita untuk hanyut dalam pikiran monyet nakal (monkey mind).

Teknik meditasi ini bagus untuk melepas kemelekatan. Saat pikiran dijejali ‘meditasi kesadaran’ justru akan susah sadar. Tetapi sebaliknya saat dijejali ‘meditasi melupakan kesadaran’, malah susah hanyut, yang berarti sadar terus. Ini seperti kita bermeditasi dengan objek ‘jangan memikirkan gado-gado’. Semakin pikiran kita dipaksa untuk tidak memikirkan gado-gado, pikiran kita justru akan makin memikirkan gado-gado.

20161017-penjelasan-mingyur-rinpoche-ini-membuktikan-bahwa-meditasi-itu-santai-dan-menyenangkan-3 20161017-penjelasan-mingyur-rinpoche-ini-membuktikan-bahwa-meditasi-itu-santai-dan-menyenangkan-4

Menjadikan Meditasi Sebagai Kebiasaan
Setelah belajar dan praktik tentang teknik-teknik meditasi, Rinpoche mendorong para peserta untuk menjadikan meditasi sebagai kebiasaan sepulang dari workshop. Rinpoche memberi PR kepada peserta untuk bermeditasi sebanyak 50 jam dalam 6 bulan: 25 jam meditasi pendengaran-penglihatan-penciuman-pencecapan-sensasi tubuh-kesadaran terbuka dan 25 jam meditasi pikiran dan emosi.

“Jika sudah selesaikan (PR ini), kita akan mendapatkan peta lengkap tentang meditasi yang bisa kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari,” jelas Rinpoche.

Rinpoche juga menambahkan, untuk menjadikan meditasi sebagai kebiasaan, lakukan meditasi 5 menit setiap hari selama 20-30 hari. Lama-lama otot tubuh akan menyesuaikan sehingga menjadi terbiasa. Setelah itu baru ditingkatkan lagi durasinya.

“Pengalaman meditasi selalu berubah, seperti pasar saham. Naik-turun, naik-turun. Lama-lama akan stabil. Kita harus menerimanya,” ujar Rinpoche. Pengalaman meditasi bukan yang paling penting, yang lebih penting adalah niat. Niat itu yang akan membawa pada realisasi untuk bermeditasi.

Teknik-teknik meditasi tersebut biasanya diajarkan dalam workshop Joy of Living 1. Workshop ini terdiri dari tiga level. Banyak teknik untuk bermeditasi, tinggal disesuaikan dengan kondisi kita. “Orang pikir kan selama ini meditasi harus butuh waktu, harus konsentrasi, harus butuh sesuatu yang spesial. Tapi ternyata apa pun yang kita lakukan, selama kita memiliki awareness (kesadaran), itu adalah meditasi. Karena esensi dari meditasi adalah kesadaran,” ujar Bhiksu Sakya Sugata, salah satu peserta workshop.

Sedangkan Ardi, peserta lain menjadi menyadari kesalahannya dalam menyikapi halangan meditasi (nivarana) selama ini. “Yang selama ini kita anggap obstacle (halangan), dulu dianggapnya halangan. Kita berusaha gimana caranya ngilangin halangan-halangan itu, ternyata malah bisa men-support meditasi kita,” ujar Ardi.

“Saya dicerahkan bahwa ada metode untuk bikin kita happy. Kita berhak loh untuk happy terus dan kita dikasih tahu caranya,” ujar Luli, seorang peserta lainnya.

Pengalaman yang didapat perempuan berjilbab ini dari workshop juga diakuinya justru makin meningkatkan kehidupan spiritualnya sebagai pemeluk agama Islam. “Rasanya ini ajaran yang tidak terikat pada agama. Semua orang punya path (jalan) masing-masing untuk mencari yang terbaik untuk dia. Justru saya makin belajar tentang diri kita sendiri, yang saya rasakan saya justru makin melakukan ajaran agama saya dengan lebih baik. Jadi membantu saya untuk meningkatkan spiritual saya dalam aktivitas religi saya,” tambah Luli.


Bhikkhu Sri Pannyavaro: Berdana Untuk Melepas Adalah Dana yang Bernilai Tertinggi

$
0
0

“Belajar Dhamma adalah utama, mengerti Dhamma sangat mendapat perhatian dalam ajaran guru agung kita Buddha Gotama. Pengertian benar adalah unsur pertama dalam jalan mulia berunsur delapan. Tetapi Ibu, Bapak dan Saudara, pengertian semata tidaklah cukup, hanya mengerti tidak membawa banyak kemajuan untuk batiniah kita, hanya mengerti tidak banyak membawa kemajuan di dalam diri kita. Praktik Dhamma yang benar harus dimulai tidak semata dengan pengertian, tetapi dengan saddha, dengan keyakinan,” ujar Bhikkhu Sri Pannyavaro memulai ceramah Dhamma pada perayaan Kathina di Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah pada Minggu (23/10).

Menurut Bhante Pannyavaro, untuk memahami Dhamma dengan benar diperlukan sikap menerima pengertian, “Saudara mengerti, dan pengertian adalah sesuatu yang penting, tetapi terimalah pengertian itu. Saddha adalah sikap untuk menerima pengertian, dan sikap untuk menerima pengertian itulah awal dari kemajuan batin kita.”

Di dalam Angutara Nikaya disebutkan ada empat macam keyakinan. Pertama, kamma saddha. Guru agung kita menjelaskan ada perbuatan baik yang berguna bagi diri kita dan orang lain, dan ada perbuatan buruk yang merugikan. Tidak ada perbuatan yang abu-abu, yang ada hanyalah perbuatan baik dan buruk. Itulah keyakinan umat Buddha yang pertama. Kedua, kamma vipaka saddha. Perbuatan-perbuatan itu memberikan akibat. Kebaikan membuahkan kebahagiaan, keburukan mengakibatkan penderitaan. Guru agung kita pernah menegaskan, tidak pernah mungkin para bhikkhu, keburukan membuahkan kebahagiaan. Dan tidak pernah mungkin, kebaikan membuahkan penderitaan. Perbuatan baik membuahkan kebahagiaan dan keburukan mengakibatkan penderitaan, semua perbuatan menimbulkan vipaka.

Ketiga, kammasakata saddha. Perbuatan itu, si pembuatnya sendiri yang akan memetik akibatnya, bukan orang lain. Keempat, Thatagatha bodhisattva. Bahwa guru agung kita, Tathagata mencapai pencerahan sempurna (bodhi). Pencerahan sempurna itulah yang Beliau ajarkan kepada kita. Guru agung kita bukanlah seorang filsuf, ajaran Beliau bukan hasil pemikiran intelektual Beliau, tetapi ajaran Beliau adalah pencapaian pencerahan sempurna.

“Secara ringkas, keyakinan umat Buddha itu adalah yakin terhadap hukum karma dan yakin guru agung kita Buddha Gotama mencapai pencerahan,” jelas Bhante.

Bhante Pannyavaro melanjutkan, “Ibu, Bapak dan Saudara, keyakinan itu memberi dampak yang sangat besar bagi kita untuk tidak berbuat yang buruk dan banyak melakukan perbuatan baik. Sila sesungguhnya adalah pengendalian diri kita (samvara). Kita mengendalikan diri dari perbuatan yang buruk bukan semata-mata perintah kitab suci, tetapi kita yakin bahwa keburukan itu menghancurkan kita, menghancurkan diri kita, dan juga menghancurkan orang lain dan menghancurkan lingkungan.

“Tetapi Saudara, seperti disebutkan di depan, tidak hanya mengendalikan diri dari yang buruk, tetapi menambah perbuatan baik. Salah satu cara menambah kebajikan yaitu dengan cagga (kemurahan hati). Cagga itu tidak hanya sekadar memberi, cagga itu adalah memberi untuk melatih diri melepaskan ikatan, memberi untuk melatih diri menghancurkan attachment. Itulah cagga pemberian dengan tujuan tertinggi.

“Oleh karena itu, Ibu, Bapak dan Saudara, cobalah perhatikan, bukan persoalan materi yang Anda berikan, bukan persoalan barang yang Anda berikan sedikit atau banyak, tetapi memberilah dengan pengertian yang tertinggi. Saya yakin pengertian ini hanya ada pada ajaran guru agung Buddha Gotama,” jelas Bhante.

Menurut Bhante, dalam ajaran Buddha, tujuan berdana bukan hanya sekadar untuk mendapat ketenaran sosial. “Memberi yang paling rendah memberikan dampak sosial, saudara dicintai dan dikenal oleh orang banyak. Dalam bahasa Pali dikatakan, ‘Dadang piyohoti’, orang yang memberi akan dicintai. Tetapi bukan sekadar itu tujuan kita memberi, kecuali nanti pada tahun 2017 banyak orang memberi supaya dicintai, supaya kalau Saudara masuk di bilik kecil itu coblos nama dia. Umat Buddha tidak akan memberi dengan tujuan seperti itu,” jelas Bhante.

Memberi yang lebih tinggi bertujuan untuk hidup sejahtera, setelah kematian dilahirkan di alam dewa. Tetapi ada tujuan yang tertinggi, memberi untuk kebersihan batin, memberi untuk kebebasan dari penderitaan.

“Saya ingin mengumpamakan tiga macam tingkatan memberi ini dengan kita kalau mengambil makanan. Dalam bahasa Pali, makanan yang kita makan setiap hari, nasi soto, nasi pecel, nasi goreng disebut dengan kabhalingga ahara, makanan yang berbentuk materi. Tetapi Ibu, Bapak dan Saudara, ada bermacam-macam tujuan saudara-saudara kita dan kita makan. Tujuan yang paling rendah adalah makan untuk enak, makan untuk mencari kenikmatan. Tidak salah, Ibu, Bapak dan Saudara, tetapi kalau Saudara makan hanya untuk mencari enak, makanan itu akan menghancurkan kesehatan Saudara. Yang benar adalah makan untuk sehat. Saya makan bukan hanya enak, tetapi supaya fisik kita sehat. Karena dengan fisik sehat, maka fisik yang sehat itu jauh lebih enak daripada makan enak.

“Apakah ada yang lebih tinggi? Ibu, Bapak dan Saudara, di dalam Dhamma sering dijelaskan, mereka-mereka yang sering bermeditasi mencapai tingkat yang cukup tinggi, apalagi mereka yang sudah mencapai niroda sampati, tujuh hari-tujuh malam mereka tidak perlu makan, hanya sekadar duduk bahkan nafas pun berhenti. Tetapi Arahat ini belum meninggal dunia, demikian juga sering dikatakan dengan kalimat ‘piti bagang’, kalau orang bermeditasi kemudian merasakan kegiuran-kenikmatan meditasi, mereka tidak memerlukan makan. Itulah sesungguhnya makanan yang sangat tinggi, bukan semata-mata makanan materi yang kita makan.

“Seperti itulah kita berdana, meskipun hanya sesuap nasi, sepotong kain, berdanalah dengan cagga. Berdana untuk melepaskan attachment, berdana untuk mengurangi kemelekatan, karena suatu saat nanti kalau perubahan terjadi, kita harus meninggalkan kehidupan ini. Tidak ada yang bisa kita bawa, apa pun, termasuk materi sekecil apa pun. Oleh karena itu, berdana tidak sekadar berdana, berdana untuk melepas, berdana untuk mengurangi attachment, berdana untuk melatih mengurangi keterikatan, berdana untuk meninggalkan keduniawian ini dengan sederhana. Itulah tujuan berdana yang tertinggi.

“Itu dapat kita latih kalau kita cukup mempunyai kearifan, kalau kita cukup mempunyai pannya. Dan pannya itulah mahkota ajaran guru agung kita yang memberikan nilai kebajikan kita, tidak sekadar kebajikan, tetapi kebajikan yang nilainya sangat tinggi yang akhirnya membawa kita pada kebebasan. Kita makan tidak hanya enak, kita makan untuk kesehatan, dan akhirnya kita tidak membutuhkan makanan itu lagi.

“Oleh karena itu, marilah Ibu, Bapak dan Saudara untuk praktik Dhamma yang tiada henti. Dalam Dhammapada 50, ‘Jangan mencari kesalahan orang lain, jangan mencari apa yang orang lain sudah lakukan atau yang belum. Marilah kita melihat diri kita, apa yang sudah saya lakukan dan apakah yang belum kita lakukan.

“Tetapi Bhante, apakah kita tidak boleh mengajari orang lain? Apakah tidak boleh mengingatkan orang lain, membimbing orang lain? Kenapa tidak. Marilah kita memberikan bimbingan kepada orang lain dengan contoh teladan. Tidak sekadar nasehat, tetapi berikanlah mereka contoh teladan. Marilah melihat diri sendiri, apakah yang sudah saya lakukan dan belum lakukan. Marilah kita memberikan keteladanan kepada orang lain, karena itu bermanfaat bagi diri kita dan orang lain,” tutup Bhante.

‘Praktik Lima Sila Akan Menuntun pada Jalan Mulia Berfaktor Delapan’

$
0
0

Minggu (30/10), mentari pagi menyapa umat Buddha di Prasadha Jinarakkhita, Jakarta Barat yang bersatu padu untuk melakukan perbuatan baik. Pukul tujuh pagi, para anggota Sangha mulai melakukan pindapata sebagai awal dari rangkaian kegiatan Kathina pada hari itu. Umat Buddha yang telah berkumpul terlihat antusias dan bergembira, halaman belakang gedung adalah tempat kegiatan pindapata ini.

Usai pindapata dan anggota Sangha makan pagi, acara dilanjutkan di auditorium Gedung Prasadha Jinarakkhita. Di tempat ini dilangsungkan kegiatan puncak yaitu puja bakti dan Perayaan Kathina Nasional. Perayaan Kathina tahun ini mengangkat tema “Berderma di Saat Kathina”.

Pesan Dhamma yang menyejukkan hati disampaikan oleh Bhikkhu Dharmasurya Bumi. Bhante menjelaskan mengenai peristiwa, manfaat, tujuan dan cara berkenaan dengan upacara Kathina.

Bhante menjelaskan, kejadian jubah yang basah, robek dan kotor yang dilihat langsung oleh Buddha merupakan awal dari peristiwa Kathina. “Saat itu Sang Buddha menyaksikan jubah para bhikkhu yang rusak, karena pada saat itu jubah merupakan gabungan dari berbagai macam kain, baik sisa pembuangan atau bahkan sisa kain mayat. Sehingga ada satu umat awam memiliki inisiatif, memohon kepada Sang Buddha bahwa diperkenankannya membuat jubah,” terang Bhante.

Kondisi sekarang sangat berbeda dengan zaman Buddha. Jumlah jubah tidak lagi langka, melainkan banyak, sehingga Bhante menekankan, “Saat upacara persembahan Kathina, perlu diutamakan adalah makanan, bukan jubah.”

Akan tetapi, makanan yang didanakan secara berlimpah dapat menyebabkan kecemburuan dan perpecahan. Namun ketika umat dapat berdiskusi secara bersama dalam memberikan dana kepada Sangha, hal ini akan membantu umat dalam meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan.

“Umat Buddha seminimalnya diusahakan melatih diri dalam hal sila, yaitu lima sila. Lima sila atau Pancasila sangatlah penting,” Bhante menegaskan.

“Baik itu umat awam atau bhikkhu, ketika mereka mudah dirawat, tidak berani menentang, takut akan akibat suatu perbuatan, maka inilah sumber bagi seseorang dalam membangkitkan keyakinannya, dalam memilih keyakinan.

“Keyakinan bukanlah barang gadaian atau barang dagangan yang dapat dinilai. Keyakinan (saddha) akan selalu menjadi milik bagi orang yang memilikinya dan menanamkannya. Berbeda dengan rumah, mobil, atau barang-barang yang ketika kita meninggal, akan kita tinggalkan.

“Dengan melaksanakan lima tekad (sila), seorang umat Buddha akan memiliki tiga kekayaan, yaitu: (1) keyakinan/saddha, (2) rasa malu (hiri), dan (3) rasa takut (ottapa). Ketiga hal ini ketika sudah meningkat, akan mengarah pada pandangan benar yang menjurus pada pemurnian Dhamma,” jelas Bhante.

Bhante melanjutkan, “Hal itu dapat berkembang jika sudah memiliki tujuh kekayaan Ariya. Saudara tidak akan terlahir seperti sekarang ini, cukup satu kali lahir lagi sudah bisa mencapai pembebasan.”

20161103-praktik-lima-sila-akan-menuntun-pada-jalan-mulia-berfaktor-delapan-2 20161103-praktik-lima-sila-akan-menuntun-pada-jalan-mulia-berfaktor-delapan-3

Lima sila ketika dipraktikkan dengan kesungguhan, akan menuntun pada Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Lima sila merupakan gambaran delapan faktor jalan mulia. Secara bersamaan juga diumpamakan sebagai pandangan benar.

Menurut Bhante, ada tiga pandangan benar. Pertama, pandangan benar secara umum. Lima sila sesungguhnya dapat diterima oleh seluruh agama di dunia. Menghindari kejahatan, memupuk kebajikan, dan memiliki cara untuk meninggalkan kejahatan dengan memupuk kebajikan, bersihkan pikiran. Kekeliruan yang terjadi pada umat Buddha adalah selalu mengatakan “sucikan pikiran”. Lebih tepat manakala dikatakan dengan istilah “bersihkan pikiran”, karena pikiran tidak akan selamanya menjadi suci.

Bhante memberikan gambaran, “Seorang guru memberitahukan kepada siswanya, bahwa daratan yang di danau ialah daratan yang digenangi air. Ketika sore itu hujan dan siswa tersebut pulang dari sekolah, rumahnya itu adalah tanah yang agak rendah dan digenangi air. Kemudian siswa ini mengatakan bahwa ini adalah danau. Itulah yang disebut pandangan salah secara umumnya.”

Kedua, pandangan benar secara penuh. Artinya pandangan agama Buddha digambarkan seperti guru yang bijaksana. Pandangan dalam agama Buddha meliputi pandangan untuk meninggalkan kejahatan, memupuk kebaikan, dan membersihkan pikiran. Untuk menghindari kejahatan, maka ketiga hal tersebut harus dilakukan.

Ketiga, pandangan benar secara Ariya. Meninggalkan rumah, mencukur rambut, dan hidup tanpa rumah adalah pandangan benar secara Ariya. Dengan kata lain, menjalankan kehidupan sebagai seorang samana.

“Ketiga hal ini tidak boleh dicampur aduk. Latihlah lima sila dengan penuh perhatian, sesuai dengan kemampuan, dengan cara menghindari. Menghindari diri dari pembunuhan, pencurian, asusila, bohong, dan mabuk. Ketika lima sila dipraktikkan dengan sungguh-sungguh, Anda memiliki perhatian. Memiliki perhatian artinya memiliki konsentrasi. Dalam bahasa Pali dikatakan sebagai ‘samadhi’,” terang Bhante.

Sila menumbuhkan samadhi. Ketika dua hal ini muncul dan digabungkan, akan tumbuh kebijaksanaan (panna). Ini adalah Jalan Mulia Berfaktor Delapan (Attha Ariya Magga).

20161103-praktik-lima-sila-akan-menuntun-pada-jalan-mulia-berfaktor-delapan-4

“Manfaat kita mempraktekkan lima sila, yaitu menimbulkan keyakinan. Keyakinan bisa tumbuh kalau kita melakukan perbuatan, yaitu perbuatan baik. Berdana memiliki dasar keyakinan. Keyakinan yang tumbuh dan semakin berkembang akan menjadi benteng agar kita tidak terjerumus ke perbuatan yang buruk.

“Benteng itulah yang disebut dengan rasa malu dan takut (hiri dan ottapa). Jika manusia tidak memiliki hiri dan ottapa, ia akan bertindak semaunya tanpa sebuah aturan. Maka, melalui hiri dan ottapa inilah, tiga macam kekayaan yang harus kita kembangkan demi persatuan yang ada di dalam umat Buddha,” jelas Bhante.

Kehidupan Seorang Bhikkhu Tergantung pada Kedermawanan Umat

$
0
0

Minggu (30/10), untuk kedua kalinya umat Buddha Blitar, Jawa Timur mengadakan Sangha Dana. Kali ini, Vihara Buddhasasana, Desa Boro, Kecamatan Selorejo yang menjadi tempat kegiatan. Meskipun pada malam sebelumnya Kathina sudah digelar sangat meriah di Vihara Samaggi Jaya, Kota Blitar, namun Kathina kali ini juga tidak kalah meriah dan diikuti lebih dari 2000 umat Buddha dari berbagai wilayah Blitar, Surabaya, Malang, Temanggung, bahkan Jakarta juga hadir.

Vihara Buddhasasana sendiri merupakan salah satu pusat agama Buddha di Kabupaten Blitar. Dari vihara ini pula melahirkan sejumlah anggota Sangha, seperti Bhikkhu Sukhito dan Bhikkhu Tejapunno. Pada tahun ini terdapat dua bhikkhu yang melaksanakan vassa di vihara dengan umat Buddha terbanyak di Blitar ini. Dua bhikkhu tersebut adalah Bhikkhu Sukhito yang merupakan putra daerah asli Boro dan Bhikkhu Jayaratano yang pada tahun ini genap melaksanakan 10 vassa.

Acara Kathina diawali dengan makan siang bersama sebagai simbol guyub umat Buddha Blitar. Sebagai perwakilan Sangha, Kathina ini dihadiri oleh delapan bhikkhu Sangha, di antaranya Bhikkhu Uttamo, Bhikkhu Viryadharo, Bhikkhu Tejapunno, Bhikkhu Jayaratano, Bhikkhu Jayamedho, Bhikkhu Khemadaro, dan bhikkhu lain yang merupakan pembina umat Buddha Jawa Timur.

Bhante Uttamo, dalam ceramah Dhammanya menyampaikan bahwa kehidupan para bhikkhu sangat tergantung pada umat Buddha.

“Kalau diibaratkan, ketergantungan seorang bhikkhu terhadap umat seperti ikan dan air. Ikan tidak dapat hidup tanpa air, tetapi air tidak selalu membutuhkan ikan,” kata Bhante.

Oleh sebab itu, menurut Bhante Uttamo, perkembangan Sangha dan agama Buddha sangat tergantung kepada umat Buddha. “Energi yang saya gunakan untuk menyampaikan Dhamma di setiap tempat, termasuk pada saat ini, adalah energi yang diolah dari makanan yang tadi saya makan. Dan apa yang saya makan itu pemberian umat Buddha. Karena seorang bhikkhu tidak bisa nongkrong di depan vihara, kemudian ketika ada tukang bakso lewat lalu pesen bakso dua mangkok. Kalau kurang pesan lagi. Tidak bisa begitu. Jadi, kehidupan saya ini adalah kehidupan yang diberikan oleh umat Buddha,” jelas Bhante.

20161110-kehidupan-seorang-bhikkhu-tergantung-kedermawanan-umat-2 20161110-kehidupan-seorang-bhikkhu-tergantung-kedermawanan-umat-3

Kemudian Bhante Uttamo menyinggung pencapaian vassa ke-30 yang baru saja diselesaikannya, “Tadi saya diingatkan, bahwa saat ini saya telah 30 tahun menjadi bhikkhu. Telah melaksanakan massa vassa ke-30 artinya apa, Saudara? Selama 30 tahun ini, saya telah tergantung kepada umat. Ada sebuah penelitian yang mengatakan, bahwa setiap hari sel manusia ini selalu berubah, dan dalam tujuh tahun sel kita berubah total, yang artinya berganti tubuh. Jadi kalau sekarang saya sudah 30 tahun menikmati makanan yang diberikan oleh umat Buddha, tubuh saya sudah berganti sebanyak empat kali lebih sedikit. Dan tubuh ini adalah pemberian dari umat Buddha semua selama 30 tahun ini.”

“Jadi, jangan anggap remeh berdana makanan kepada para bhikkhu, karena dari makanan itu setelah diolah menjadi energi dan digunakan untuk ceramah menyampaikan Dhamma, itu artinya sepiring nasi dan semangkuk sayur yang Anda danakan mempunyai nilai Dhamma yang sangat besar. Dan dalam agama Buddha, dana Dhamma adalah yang paling tinggi nilainya. Semoga niat baik mengikuti Kathina ini akan menumbuhkan kebahagiaan sekarang atau di masa selanjutnya,” tutup Bhante.

Sebagai wujud bakti umat Buddha Blitar kepada Bhante Uttamo dan Bhante Jayaratano, diadakan basuh tangan menggunakan air bunga sebagai bentuk syukuran atas 30 tahun vassa Bhikkhu Uttamo dan 10 tahun vassa Bhikkhu Jayaratano.

‘Orang yang Memberi Lebih Bahagia Daripada yang Menerima’

$
0
0

“Dalam Dhamma, kalau kita menambah kebajikan, maka secara otomatis akan menambah kebahagiaan hidup kita. Namun untuk berbuat kebajikan, kita memerlukan perjuangan,” ujar Bhikkhu Subhapanno, mengawali ceramah Dhamma dalam perayaan Kathina Dana dan Siripada Puja di Vihara Buddhagaya Watugong, Semarang, Jawa Tengah pada Jumat malam (11/11).

“Saudara-saudara datang ke tempat ini, butuh berjuang tidak? Saudara datang ke tempat ini pun, sudah berjuang. Kalau tidak ada usaha dan berjuang melawan kemalasan, mungkin saat ini Saudara sedang di rumah, berkumpul dengan keluarga yang tentu lebih nyaman,” kata Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia (STI) yang baru terpilih beberapa bulan lalu ini.

“Kalau orang tidak ada usaha untuk melakukan sesuatu, tidak mungkin seseorang dapat melakukan apa yang diinginkan. Dalam kehidupan sehari-hari, apa pun yang kita lakukan perlu perjuangan. Oleh sebab itu, guru agung kita mengatakan bahwa hidup ini adalah perjuangan. Dan perjuangan itu harus dilakukan dengan sunguh-sungguh. Apa pun yang kita lakukan tidak boleh setengah-setengah, harus dilakukan sungguh-sungguh.

“Begitu juga dalam melakukan kebajikan, dalam hal berdana dan memberi sesuatu kepada orang lain, juga harus dilakukan dengan perjuangan dan tepat sasaran, supaya apa yang diberikan benar-benar bermanfaat.”

Bhante memberi contoh, “Kalau orang lagi lapar, kalau dikasih selimut, kan tidak cocok. Karena orang kalau lapar, ya harus dikasih makan.”

“Ada sebuah cerita, suatu ketika ada seorang ibu melihat anak muda sedang memancing. Ibu ini mengamati dengan seksama. Dari pagi anak muda ini memancing, tetapi sampai siang kok tidak dapat ikan. Kemudian ibu ini berpikir, ‘Kasian amat ini anak muda, dari pagi sampai siang mancing tidak dapat ikan. Kalau saya kasih makanan pasti akan terbebas dari lapar’. Benar, kemudian ibu ini membawa satu bungkus makanan dari rumah dan dikasih kepada anak muda ini.

“Dan benar, anak muda ini senang sekali karena dapat makanan dan air minum. Kemudian mengatakan kepada ibu ini, ‘Terimakasih ya, Bu. Nanti kalau saya sudah sukses akan saya balas kebaikan ibu’. Tetapi ibu ini menjawab, ‘Hei anak muda, saya memberi dengan ikhlas. Jadi tidak mengharap balas budi darimu’.”

“Saudara-saudara, kalau kita menerima sesuatu yang kita butuhkan, kita bahagia. Tetapi sesungguhnya yang lebih bahagia adalah orang yang memberi. Ibu yang memberi tadi lebih bahagia daripada anak yang mendapat makanan tadi. Karena apa? Ibu ini bisa melihat orang yang diberi senang, dan dia memberi dengan sungguh-sungguh dan tulus. Seperti inilah semestinya umat Buddha memberi kepada orang lain, karena memberi dengan tulus pasti menambah kebajikan dan membuat kebahagiaan kita,” jelas Bhante.

20161115-orang-yang-memberi-lebih-bahagia-daripada-yang-menerima-2 20161115-orang-yang-memberi-lebih-bahagia-daripada-yang-menerima-3

Siripada Puja
Selain perayaan Kathina Dana yang dihadiri umat Buddha dari berbagai daerah, diselenggarakan juga Siripada Puja. Siripada Puja adalah rangkaian ritual penghormatan kepada telapak kaki suci Buddha, biasanya dilakukan pada saat purnama di bulan Kattika (sekitar November).

 Saat Buddha pergi dari Savatthi untuk mengunjungi Bhikkhu Punna Mantaniputta di Sunaparanta, Beliau singgah di Gunung Saccabandha, di mana terdapat seorang pertapa yang bernama Saccabaddha. Buddha membabarkan Dhamma kepada pertapa tersebut yang segera mencapai tingkat kesucian Arahat.

Pada waktu perjalanan pulang, Beliau kembali melewati gunung Saccabandha. Saat di tepi Sungai Nammada, Raja Naga muncul dan memberikan penghormatan yang luar biasa. Kemudian Raja Naga memohon kepada Buddha untuk meninggalkan kenang-kenangan. (Versi lain: Buddha mengajarkan Dhamma kepada Raja Naga yang sering mengganggu penduduk, Naga akhirnya menjaga desa tersebut. Penduduk yang berterima kasih memohon pada Buddha untuk meninggalkan jejakNya).

Buddha berkenan dengan permohonan tersebut. Karena kekuatan kesaktian yang luar biasa, meskipun di atas batu yang keras, jejak kaki Buddha tampak jelas, lengkap dengan tanda-tanda istimewa seorang Maha Sempurna, yaitu guratan Dhammacakka (Roda Dhamma) di tengah telapak kakiNya. Tanda itu merupakan salah satu dari 32 tanda istimewa (mahalakkhana) dari seorang Sammasambuddha. Guratan roda Dhamma melambangkan petunjuk “Ikutilah Jejak Mulia Buddha” atau “Ikutilah Dhamma”.

Menurut legenda, Siripada dijaga dan dihormati oleh para Naga sebagai objek pemujaan pada Buddha, bahkan di beberapa tempat, saat dilaksanakan Siripada Puja, ada sebagian orang meyakini pemunculan sosok naga. Selain yang terdapat di tepi Sungai Nammada, menurut Tipitaka, masih ada lagi empat tempat yang dipercaya dibuat langsung oleh Buddha, yaitu di Pegunungan Suwannamalika, Gunung Suwanna, Bukit Summana, dan Yonakapura.

Oleh sebab itu, hingga saat ini umat Buddha di berbagai negara masih melaksanakan Siripada Puja. Dalam ritual Siripada, biasanya umat Buddha menghanyutkan amisa puja yang terdiri dari bunga, lilin dan dupa ke sungai atau kolam.

Saat menghanyutkan amisa puja, umat membangkitkan tekad (adhitthana) untuk melepaskan moha (kebodohan), lobha (keserakahan), dan dosa (kebencian). Melepaskan kekotoran batin akan memunculkan kejernihan dan penerangan.

20161115-orang-yang-memberi-lebih-bahagia-daripada-yang-menerima-4 20161115-orang-yang-memberi-lebih-bahagia-daripada-yang-menerima-5 20161115-orang-yang-memberi-lebih-bahagia-daripada-yang-menerima-6

3 Tips Bhante Uttamo untuk Meningkatkan Kesadaran

$
0
0

“Waduh, kenapa ya tadi saya ngomong gitu ke dia?” Pernahkah Anda mengalami kejadian seperti itu? Kejadian di mana Anda baru menyadari menyakiti orang lain setelah ucapan tersebut terucap dari mulut Anda? Apabila pernah, berarti kesadaran Anda kurang baik.

Pada dasarnya, setiap manusia pasti memiliki kesadaran. Perbedaannya adalah orang yang dalam hidupnya sering sadar dan orang yang sering tidak sadar. Dan untuk meningkatkan kesadaran, tidak diperlukan bakat tertentu, yang artinya semua orang pasti bisa asalkan rajin berlatih.

Ada banyak cara meningkatkan kesadaran. Dalam sebuah ceramah di Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta pada Minggu (4/12), Bhante Uttamo memberikan contoh latihan kesadaran melalui Ikebana, seni merangkai bunga dari Jepang. Menurut sejarahnya, Ikebana merupakan bentuk dari meditasi bhiksu Zen pada periode Kamakura (1192-1333).

Bukan cuma dilakukan oleh bhiksu Zen, para samurai pada masa itu juga secara konsisten membuat Ikebana sebelum pergi berperang untuk berlatih konsentrasi. Oleh para samurai, Ikebana bukan hanya sebuah seni merangkai bunga, tapi sebagai simbol ketidakkekalan dari kehidupan.

Selain melalui Ikebana, Bhante Uttamo juga memberikan tiga tips sederhana yang bisa dilakukan sehari-hari untuk membantu meningkatkan kesadaran:

Bertanya ke dalam diri, “Saat ini saya sedang apa?”
Cara paling sederhana untuk melatih kesadaran adalah dengan membiasakan bertanya ke dalam diri, “Saat ini saya sedang apa?” Pertanyaan ini bertujuan sebagai pengingat untuk selalu sadar mengenai hal apa pun yang sedang kita lakukan. Bhante Uttamo menjelaskan, apabila sedang makan, ya sadar kalau sedang makan. Apabila sedang menyetir, sadari kalau sedang menyetir.

Untuk membantu agar selalu ingat untuk bertanya ke dalam diri, Bhante Uttamo menyarankan tulisan “Saat ini saya sedang apa?” ditempel di tempat-tempat yang sering kita lihat, seperti di depan laptop, di pintu kulkas, di meja kerja, dan sebagainya. Hal ini bertujuan, agar kita selalu ingat untuk bertanya ke dalam diri kita.

20161208-3-tips-meningkatkan-kesadaran-ala-bhante-uttamo-2

Menumbuhkan rasa malu dan takut berbuat jahat
Untuk melatih kesadaran, juga bisa melalui pengkondisian. Caranya yaitu dengan berlatih memiliki rasa malu ketika berbuat jahat dan takut akan akibat perbuatan jahat. Bhante Uttamo menjelaskan, dalam menumbuhkan rasa malu, ingatlah bahwa apa pun yang kita lakukan juga berdampak pada nama baik keluarga bahkan marga kita. Ketika kita melakukan sesuatu yang baik, maka satu keluarga atau marga mendapatkan pujian (nama baik).

Sebaliknya, ketika kita melakukan sesuatu yang tidak baik, maka kejelekan kita mempengaruhi nama baik dari marga. Dengan menyadari hal ini, kita menjadi semakin waspada dan sadar atas setiap tindakan yang kita ambil. Karena apa pun itu, mampu mempengaruhi orang-orang yang kita cintai.

Selain rasa malu, Bhante Uttamo menekankan pada aspek takut akan akibat perbuatan jahat. Bhante Uttamo menyarankan, aspek ini diajarkan kepada anak-anak ketika masih kecil. Rasa takut akan akibat perbuatan jahat bisa diajarkan melalui hukum karma (apa yang kita tabur, itulah yang akan kita tuai). Sebagai contoh, ketika anak kita mengambil mainan orang lain, kita bisa bertanya kepada anak kita, “Adik, apakah kamu mau mainan kamu diambil?” Apabila si anak berkata, “Tidak.” Kemudian kita akan menjelaskan, “Apabila kamu tidak ingin mainan kamu diambil, jangan mengambil mainan orang lain.”

Melalui pengajaran-pengajaran sederhana semacam ini tapi konsisten, maka akan membentuk karakter anak yang waspada akan setiap tindakan yang dia lakukan. Anak tersebut akan menyadari bahwa, “Kalau saya melakukan sesuatu, saya akan menerima akibatnya, baik ataupun buruk. Semua akan kembali ke diri saya.”

20161208-3-tips-meningkatkan-kesadaran-ala-bhante-uttamo-3

Rutin bermeditasi
Banyak orang merasa sulit melakukan meditasi, entah itu karena tidak sempat atau merasa tidak bisa melakukannya. Padahal, untuk berlatih meditasi, hanya diperlukan kemauan untuk menjalankannya secara rutin. Bhante Uttamo menyarankan, kesadaran dapat dilatih melalui meditasi pagi dan malam setiap hari selama minimal 15 menit. Dengan rutin berlatih meditasi, kita akan belajar memusatkan pikiran dan berlatih untuk fokus.

Bhante Uttamo menambahkan, selain berlatih meditasi sendiri di rumah, hasilnya akan lebih maksimal apabila juga mengikuti kelas-kelas meditasi. Hal ini bertujuan agar kita mendapatkan bimbingan dari para praktisi meditasi. Bhante Uttamo juga menjelaskan, hasil meditasi tidak bisa dilihat hanya dalam waktu 2-3 hari, tapi apabila kita konsisten melakukannya selama tiga bulan maka manfaat baik dari meditasi akan terlihat seperti lebih mampu mengendalikan diri dan menyadari apa yang kita pikirkan, ucapkan, dan lakukan.

*) Michael Bliss dapat diikuti melalui blognya di https://michaelbliss.co

Viewing all 149 articles
Browse latest View live